Wednesday, June 28, 2006

Melatih Daya Jiwa

Jika Anda pernah melihat seorang pemuda yang rutin melatih otot-otot tubuhnya di pusat kebugaran, Anda akan takjub melihat betapa kekar otot-otot tubuhnya: kuat dan perkasa. Begitulah hasilnya jika seseorang rajin melatih otot-otot tubuhnya. Sebaliknya jika seseorang tidak pernah melatih atau bahkan menggunakan ototnya, otot-ototnya bukan saja tidak berkembang tapi bisa jadi malah mengalami pengecilan atau antropi: akhirnya tidak bisa berfungsi secara normal.

Bagaimanakah dengan otot-otot jiwa? Tak ubahnya seperti otot-otot tubuh, otot-otot jiwa pun bisa dilatih. Seorang anak yang sering mengasah otaknya dengan mengerjakan soal-soal matematika misalnya, 'otot-otot otaknya'-nya pun akan berkembang, maka dia tumbuh menjadi anak yang pintar.

Dalam literatur kebatinan Jawa, disebutkan terdapat empat macam nafsu yang menyertai perjalanan hidup manusia: luamah, amarah, supiyah, dan mutmainah. Keempat nafsu tersebut adalah daya-daya jiwa yang selalu bisa dilatih agar semakin besar kekuatannya. Keempat nafsu tersebut ibarat pohon: pohon mana yang paling sering Anda sirami, Anda kasih pupuk, itulah yang akan tumbuh menjadi pohon yang paling besar, sehingga menaungi pohon-pohon lainnya: sehingga pohon-pohon lainnya pun akan kehilangan daya kekuatannya atau bahkan mati tidak berkembang.

Daya-daya tersebut bukan saja bisa tumbuh dan berkembang, tapi juga memiliki alamnya sendiri-sendiri. Nafsu amarah, misalnya, berada di alam yang gelap dan panas, orang menyebutnya neraka. Nafsu mutmainah berada di alam yang terang dan sejuk, orang menyebutnya surga.

Seseorang yang cenderung mengeluh dan menghitung-hitung kesalahan orang lain, dia sedang melatih daya amarah-nya, sehingga daya itu pun makin lama makin besar sehingga mendominasi sikapnya dan perilakunya sehari-hari, dan akhirnya menaunginya dengan sifat yang terdapat di dalam daya amarah, yaitu gelap dan panas. Sebaliknya seorang yang selalu mensyukuri apapun yang ia terima, dan menghitung-hitung kebaikan orang lain: dia sedang melatih daya-daya mutmainah-nya, sehingga ibarat pohon yang terus disirami dan diberi pupuk akan tumbuh menjadi pohon yang besar, dan mendominasi sikap dan perilakuknya dan menaunginya dengan sifat di dalam daya mutmainah: terang dan sejuk.

Merangkul Kesederhanaan

Lirik sebuah lagu, termasuk dalam seni musik tradisional, menggambarkan pola pikir atau mindset dari budaya yang bersangkutan. Saya gemar memperhatikan lirik dalam gendhing-gendhing ataupun lagu-lagu Jawa terutama karena kesederhanaannya atau justru karena ketidak-bermaknaannya: yang justru menembus makna yang paling dalam.

Perhatikan penggalan lirik-lirik berikut ini:

"Eman-eman...."
"E... bapak-ne thole...."
"Dua lolo....."
"Nginang karo ngilo...."
"Alah bapak nganggo kathok..."
"Ijo...."
"Aduh lae...."
"Bukak sithik, joss!!"

Dalam Tao diajarkan tentang: merangkul balok kayu yang tak dipahat. Balok kayu yang tak dipahat adalah lambang keluguan, sifat asli apa adanya, tanpa dibuat-buat atau direkayasa, sesuatu yang sederhana dan alami. Seseorang harus kembali pada sifatnya yang asli, begitu kira-kira yang ingin disampaikan Lao Tse. Menarik sekali bahwa lirik-lirik dalam gending-gending Jawa menyuarakan hal yang sama: kata-kata yang begitu sederhana, bahkan nyaris tak bermakna... menampilkan kesederhanaan yang begitu Harmonis dan Agung. Kesederhanaan tanpa banyak aksesoris! Simplicity... begitu kata orang bule.

Bukankah simplicity itu yang sudah sering dilupakan orang dalam budaya pop sekarang ini? Sekarang ini orang lebih banyak mengejar akseoris daripada hal-hal yang basic atau mendasar. Orang tidak lagi berpikir: mau makan apa? Tapi: mau makan di mana? Atau bahkan: mau makan siapa? Ha..ha...ha...

"Carilah yang basic, dan tinggalkan aksesoris. Orang bijak mencari makan, dan bukan kepuasan rasa," begitu yang dikatakan Lao Tse. Dan setiap kali mendengarkan gendhing-gendhing Jawa saya selalu diingatkan akan hal itu:

"Ora butuh kae-kae, butuhku mung nyambut gawe...."

Friday, June 23, 2006

Kresna, Harjuna Dan Empat Ekor Kuda


Wayang kulit adalah bahasa perlambang. Salah satu perlambang yang terkenal di dunia pewayangan Jawa adalah: Harjuna yang sedang menaiki sebuah kereta kencana yang ditarik oleh empat ekor kuda: kuda yang berwarna hitam, putih, kuning dan merah. Di dalam kereta tersebut Sri Bathara Kresna, sang titisan Wisnu berdiri sebagai kusir yang mengendalikan keempot ekor kuda.

Kuda-kuda tersebut melambangkan anasir-anasir yang terdapat dalam diri manusia, yaitu keempat nafsu yang selalu menyertai hidup manusia:

Kuda Hitam: menggambarkan nafsu luamah, atau nafsu jasmaniah: seperti nafsu makan-minum, tidur, syahwat.

Kuda Merah: nafsu amarah, mau menang sendiri.

Kuda Kuning: nafsu supiyah, kecintaan pada keindahan

Kuda Putih: nafsu mutmainah, kecintaan pada kerukunan, perdamaian.

Keempat ekor kuda tersebut seringkali menyeret manusia melakukan berbagai tindakan baik yang negatif maupun positif. Ketika seseorang membantai saudaranya hanya karena berebut warisan misalnya, nafsu amarahnya yang mengendalikannya. Ketika seseorang berusaha menggalang perdamaian, nafsu mutmainah-nya yang mendorongnya melakukan itu.

Keempat nafsu tersebut bisa menyeret manusia ke dalam keadaan yang buruk maupun baik. Karena itu penting sekali kehadiran seorang kusir yang bijak. Kresna adalah lambang kebijaksanaan. Ia adalah titisan Dewa Wisnu, Dewa Pemelihara. Dalam dunia mistik Jawa ia adalah perlambang kebijaksanaan ilahi yang berdiam di dalam sanubari setiap insan. Kebijaksanaan itulah yang seharusnya mengendalikan dan mengarahkan keempat ekor kuda, sehingga kereta kencana berjalan ke arah yang benar, dan penumpangnya, sang Harjuna, manusia sejati, menemukan kehidupan yang tenteram.


Thursday, June 22, 2006

Semar dan Chuang Tzu


Semar bertubuh tambun: melukiskan keluasan hatinya. Ati segara, begitu kata orang Jawa: hati bagai samudera. Makin luas hatinya berarti makin halus pula rasa-nya. Dalam literatur Jawa, rasa adalah inti terdalam manusia, kebenaran tertinggi. Makin halus rasanya, berarti makin dekat orang itu pada inti kebenaran, makin tinggi tingkat spiritual-nya. Dan makin halus rasa seseorang, dia akan menjadi makin momot, makin luas ruang hatinya, sehingga bagai samudera yang bisa menampung ribuan sungai yang mengalir kepadanya tanpa menjadi penuh maupun kotor.

Sebaliknya makin kasar rasa seseorang, makin rendah tingkat spiritual-nya, makin kaku sikapnya, dan makin sulit menerima pandangan yang berbeda, tidak bisa hidup tenteram dengan kelompok lain, mau menang sendiri... dan ugal-ugalan. Lebih celaka lagi, dengan mengatas-namakan agama dan Tuhan!

Lao Tse mengajarkan: bahwa orang yang benar-benar bijak akan rendah hati dan tidak berdebat dengan siapapun. Semar adalah Dewa tertinggi, tapi dia mengambil rupa sebagai seorang hamba, seorang abdi yang dengan setia mengabdi pada para ksatria pilihan: Pandhawa Lima. Semar tidak pernah menginginkan jabatan tinggi bagi dirinya sendiri. Misinya murni: untuk menjaga harmoni semesta raya. Ia tak ubahnya seperti Chuang Tzu yang menolak dijadikan perdana menteri dan berkata: kura-kura yang hidup dalam lumpur jauh lebih baik daripada kura-kura yang diawetkan dengan air keras dan tinggal di istana raja.

Tuesday, June 13, 2006

Pram

Pram (bukan nama sebenarnya) lahir di tengah keluarga yang terhormat. Kedua orang tuanya bekerja di jawatan pemerintah dan sangat disegani di desanya. Semua saudaranya, kakak-kakak dan adik-adiknya, jadi 'orang' di kota: ada yang jadi tentara, atau bekerja di bank yang bergengsi, dan sebagainya... Tapi Pram sendiri yang celaka dalam hidupnya: ia terpuruk di lokalisasi murahan, di dalam pelukan seorang pelacur yang tidak lagi muda usianya dan tidak cantik pula wajahnya.

Tentu semua orang dalam keluarga Pram prihatin atas nasib yang menimpa, atau mungkin sengaja dipilihnya sendiri itu. Berkali-kali keluarga Pram berusaha membebaskan pemuda malang itu dari lembah hitam: saudara-saudaranya di kota berulang kali membawa Pram ke Jakarta dan mencarikannya pekerjaan di sana. Bahkan kedua orang tuanya tak segan-segan mencarikan seorang istri banginya agar ia mau meninggalkan pelacur itu, dan hidup normal sebagai seorang petani di desa. Tapi berulangkali pula Pram mengecewakan keluarganya: ia selalu kembali ke tempat lokalisasi murahan itu, ke dalam pelukan seorang pelacur tua yang tidak begitu cantik wajahnya...


Analisa kejiwaan:

Tinggal di tengah keluarga yang terhormat, dan memiliki saudara-saudara yang jadi 'orang', tidak selalu menjadi hal yang mudah: tentu akan banyak tuntutan bagi seorang yang berada di tengah keluarga seperti itu: harus begini, harus begitu... tidak boleh begini, tidak boleh begitu... Dan tuntutan-tuntutan semacam itu bisa menjadi sangat membebani: seringkali kita terpaksa harus memakai topeng atau berpura-pura menjadi orang lain demi memenuhi tuntutan yang berhubungan dengan 'status' yang ditempelkan orang pada kita. Kita bahkan takut menjadi diri sendiri. Dan terus-menerus memakai topeng tentu akan sangat melelahkan!

Saat kelelahan itu mencapai puncaknya, maka sesuatu di dalam jiwa kita pun berontak: kita menepiskan segala kebutuhan untuk dihormati, disegani, atau bahkan kebutuhan akan hidup yang nyaman. Akhirnya kita berani melakukan apa saja untuk mendapatkan kebutuhan kita yang paling dasar: kebutuhan untuk dicintai, untuk diterima sebagaimana diri kita apa adanya... sehingga kita tidak perlu terus-menerus memakai topeng atau menjadi orang lain, sehingga kita merasa nyaman menjadi diri kita sendiri. Dan mungkin di lokalisasi murahan itulah Pram menemukan seorang yang menerima dirinya apa adanya, sehingga dia tidak harus menjadi orang lain... di dalam pelukan seorang pelacur tua yang tidak begitu cantik wajahnya.

Pengalaman Pram mengingatkan saya akan apa yang pernah ditulis oleh Caroline Reynolds: "One day you will come to realise that you are simply an eternal essence in need of nothing exept love."



***

Tuesday, June 06, 2006

Siluman Laba-Laba

Dalam Budhisme diajarkan bahwa akar penderitaan adalah keinginan. Saat kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, itulah penderitaan. Atau saat kita mendapatkan apa yang tidak kita inginkan, itulah penderitaan. Keterikatan pada keinginan itulah yang menjadi sumber dari penderitaan. Lepas dari keterikatan tersebut berarti terbebasnya seseorang dari penderitaan (samshara).

Dalam serial Kera Sakti dikisahkan Biksu Thong dan ketiga kawannya yang nakal dan lucu: Pat Kai (Siluman Babi), Sun Go Kong (Siluman Kera), dan Wu Ching (mantan dewa yang kehilangan kebijaksanaannya) sedang melakukan perjalanan ke barat mencari Kitab Suci. Dalam perjalanan tersebut mereka seringkali dicegat berbagai siluman yang jahat dan kejam yang bermaksud menggagalkan niat mereka. Ada Siluman Mimpi, Siluman Api Sakti, Siluman Kerbau, Siluman Ular... Dan Siluman Laba-Laba.

Tentu semua itu hanya metafora saja; dalam diri kita pun terdapat sifat-sifat ini: sifat mata keranjang dan suka perempuan (dipersonafikasikan sebagai Pat Kai), sifat yang nakal dan tak bisa diam (Sun Go Kong), dan kadang kita pun begitu bodoh hingga sulit mendengar pendapat yang berbeda (Wu Ching adalah personafikasi kebodohan). Kabar baiknya adalah: ketiga 'siluman' yang nakal dan lucu tersebut adalah sahabat kita, teman seperjalanan kita dalam mencari Kitab Suci (Kebajikan). Ketiganya tak akan membahayakan kita selama mereka patuh pada Biksu Thong (Pecinta Kebajikan).

Namun dalam perjalan tersebut: akan ada banyak siluman yang menghadang: Siluman Mimpi, menipu kita dengan berbagai ilusi, Siluman Api Sakti yang pernah mengurung Kera Sakti dan kawan-kawannya dalam buah labunya (kita pun sering terkungkung dalam 'ego' kita sendiri, dan tak bisa keluar dari sana).... Dan Siluman Laba-Laba: siluman ini sering menggoda kita dengan berbagai keinginan dan kerakusan, keinginan-keinginan tersebut seperti jaring laba-laba yang akhirnya membelenggu Jiwa. Dalam tataran yang lebih 'luar': keinginan-keinginan tersebut tak henti-hentinya menciptakan berbagai masalah dan persoalan, seperti yang membelenggu bangsa dan negara kita ini.

San chai, san chai.....


***

Siluman Laba-Laba

Dalam Budhisme diajarkan bahwa akar penderitaan adalah keinginan. Saat kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, itulah penderitaan. Atau saat kita mendapatkan apa yang tidak kita inginkan, itulah penderitaan. Keterikatan pada keinginan itulah yang menjadi sumber dari penderitaan. Lepas dari keterikatan tersebut berarti terbebasnya seseorang dari penderitaan (samshara).

Dalam serial Kera Sakti dikisahkan Biksu Thong dan ketiga kawannya yang nakal dan lucu: Pat Kai (Siluman Babi), Sun Go Kong (Siluman Kera), dan Wu Ching (mantan dewa yang kehilangan kebijaksanaannya) sedang melakukan perjalanan ke barat mencari Kitab Suci. Dalam perjalanan tersebut mereka seringkali dicegat berbagai siluman yang jahat dan kejam yang bermaksud menggagalkan niat mereka. Ada Siluman Mimpi, Siluman Api Sakti, Siluman Kerbau, Siluman Ular... Dan Siluman Laba-Laba.

Tentu semua itu hanya metafora saja; dalam diri kita pun terdapat sifat-sifat ini: sifat mata keranjang dan suka perempuan (dipersonafikasikan sebagai Pat Kai), sifat yang nakal dan tak bisa diam (Sun Go Kong), dan kadang kita pun begitu bodoh hingga sulit mendengar pendapat yang berbeda (Wu Ching adalah personafikasi kebodohan). Kabar baiknya adalah: ketiga 'siluman' yang nakal dan lucu tersebut adalah sahabat kita, teman seperjalanan kita dalam mencari Kitab Suci (Kebajikan). Ketiganya tak akan membahayakan kita selama mereka patuh pada Biksu Thong (Pecinta Kebajikan).

Namun dalam perjalan tersebut: akan ada banyak siluman yang menghadang: Siluman Mimpi, menipu kita dengan berbagai ilusi, Siluman Api Sakti yang pernah mengurung Kera Sakti dan kawan-kawannya dalam buah labunya (kita pun sering terkungkung dalam 'ego' kita sendiri, dan tak bisa keluar dari sana).... Dan Siluman Laba-Laba: siluman ini sering menggoda kita dengan berbagai keinginan dan kerakusan, keinginan-keinginan tersebut seperti jaring laba-laba yang akhirnya membelenggu Jiwa. Dalam tataran yang lebih 'luar': keinginan-keinginan tersebut tak henti-hentinya menciptakan berbagai masalah dan persoalan, seperti yang membelenggu bangsa dan negara kita ini.

San chai, san chai.....


***

Urat Garis Tangan

Urat Garis Tangan


Urat-urat garis tangan kata orang ada yang menggambarkan nasib yang akan dialami seseorang. Entah benar entah tidak saya kurang tahu, tapi yang jelas ada sesuatu yang dapat dambil pelajaran dari urat-urat garis di telapak tangan kita: garis tangan tersebut membentuk pola tertentu, namun juga tak ada garis tangan yang benar-benar berbentuk garis-garis lurus seperti lurusnya sebuah penggaris. Demikian juga awan: tak ada awan yang berbentuk lingkaran atau segi-empat... namun bentuk awan juga bukan chaos, atau kacau sama sekali. Ada pola-pola tertentu yang diikuti, namun pola-pola tersebut bukanlah bentuk-bentuk geometris yang kaku. Pola-pola tersebut lebih menyerupai art atau seni, dan selalu berada dalam keadaan yang harmonis. Begitulah hukum alam: hukum yang mengatur alam dan kehidupan. Hukum tersebut tidak bersifat kaku. (Bahkan hukum gravitasi Newton yang memiliki persamaan matematika yang eksak itupun memiliki toleransi kesalahan, mereka yang pernah mempelajari fisika secara serius akan tahu hal ini). Hukum tersebut lebih menyerupai art atau seni dan mencerminkan keadaan yang harmoni. Bahkan Lao Tse menolak untuk menerjemahkan Hukum Alam Yang Agung (TAO) ke dalam peraturan-peraturan yang kering dan kaku. Yang kaku adalah ciri yang mati, seperti alang-alang yang mati itu kaku. Yang lentur adalah ciri kehidupan, seperti alang-alang yang hidup itu lentur. Bayangkan betapa jelek hidup ini: jika pohon kelapa itu benar-benar lurus seperti penggaris, dan awan berbentuk lingkaran, dan gunung Merapi berbentuk segi-tiga sama kaki.... Tapi sayangnya, ada orang-orang tertentu yang ingin membuat kehidupan menjadi seperti itu. Menurut saya itu akan sangat tidak menarik!

***

Ngelmu Kyai Petruk


Ngelmu Kyai Petruk


Berbeda dengan filsafat Barat, yang berakar dari filsafat Yunani (Socrates dkk.), filsafat Jawa tidak mau bersusah payah untuk berusaha menemukan apa kiranya 'unsur zat terkecil yang tidak bisa dibagi lagi yang membentuk suatu benda'. Bagi orang Jawa semua itu adalah urusan dan pekerjaan 'Sing Ngecet Lombok'. Bukan tugas manusia memikirkannya. Jika Plato setelah melalui pemikiran yang mendalam akhirnya memiliki keyakinan bahwa: terdapat kuda sempurna di alam kekal yang menjadi blue-print dari kuda-kuda yang ada dan kita lihat sekarang, maka bagi orang Jawa: yang penting adalah bagaimana merawat kuda dengan baik. Dan untuk menjadi seorang kusir dokar yang terampil kita memang tidak perlu tahu 'apakah memang benar ada kuda sempurna di alam kekal'.

Filsafat Jawa berbicara tentang hal-hal yang sederhana, namun sangat mendasar dan mendalam. Orang Jawa tidak mau pusing-pusing memikirkan apakah bumi berbentuk bulat ataukah lonjong, tapi yang penting adalah bagaimana manusia menjaga keselarasan (harmoni) dengan alam semesta, dan terlebih lagi dengan sesamanya: 'uripku aja nganti duwe mungsuh'. Filsafat Jawa mengajarkan kehidupan yang sederhana, dan menginsyafi bahwa harta benda tidaklah memberikan kebahagiaan yang hakiki: 'sugih durung karuan seneng, ora duwe durung karuan susah'. Meski demikian manusia harus bekerja: 'urip kudu nyambut gawe', dan mengetahui kedudukannya di dalam tatanan masyarakat. Manusia Jawa percaya bahwa setiap orang memiliki tempatnya sendiri-sendiri: 'pipi padha pipi, bokong padha bokong'. Kebijaksanaan kuno ini bahkan selaras dengan ilmu manajemen modern yang mengajarkan bahwa setiap individu harus memilih profesi yang cocok dengan karakternya. Setelah menemukan bidang profesi yang cocok, hendaknya kita fokus pada bidang tersebut, sebab jika kita tidak fokus akhirnya tak satupun pekerjaan yang terselesaikan: 'Urip iku pindha wong njajan. Kabeh ora bisa dipangan. Miliha sing bisa kepangan.'

Berikut ini kutipan lengkap salah satu pitutur luhur yang sering disampaikan ki Dalang dalam pertunjukan wayang kulit melalui tokoh Petruk:
NGELMU KYAI PETRUK
Kuncung ireng pancal putih

Swarga durung weruh

Neraka durung wanuh

Mung donya sing aku weruh

Uripku aja nganti duwe mungsuh.



Ribang bumi ribang nyawa

Ana beja ana cilaka

Ana urip ana mati.


Precil mijet wohing ranti

Seneng mesti susah

Susah mesti seneng

Aja seneng nek duwe

Aja susah nek ora duwe.


Senenge saklentheng susahe sarendheng

Susah jebule seneng

Seneng jebule susah

Sugih durung karuan seneng

Ora duwe durung karuan susah

Susah seneng ora bisa disawang

Bisane mung dirasakake dhewe.


Kapiran kapirun sapi ora nuntun

Urip aja mung nenuwun

Yen sapimu masuk angin tambanana

Jamune ulekan lombok, bawang

uyah lan kecap

Wetenge wedhakana parutan jahe

Urip kudu nyambut gawe


Pipi ngempong bokong

Iki dhapur sampurnaning wong

Yen ngelak ngombea

Yen ngelih mangana

Yen kesel ngasoa

Yen ngantuk turua.

Pipi padha pipi

Bokong padha bokong

Pipi dudu bokong.


Onde-onde jemblem bakwan

Urip iku pindha wong njajan

Kabeh ora bisa dipangan

Miliha sing bisa kepangan

Mula elinga dhandhanggulane jajan:


Pipis kopyor sanggupira lunga ngaji

Le ngaji nyang be jadah

Gedang goreng iku rewange

Kepethuk si alu-alu

Nunggang dangglem nyengkelit lopis

Utusane tuwan jenang

Arso mbedhah ing mendhut

Rame nggennya bandayudha

Silih ungkih tan ana ngalah sawiji

Patinira kecucuran


Ki Daruna Ni Daruni

Wis ya, aku bali menyang Giri

Aku iki Kyai Petruk ratuning Merapi

Lho ratu kok kadi pak tani?


('Ngelmu Kyai Petruk' dikutip dari buku Air Kata-Kata, karangan Sindhunata, Galang Press, 2003, Yogyakarta, hal. 110)

***

Hik

Hik


Hik adalah tempat saya wedangan setiap hari. Di warung hik saya dapat menemukan sajian menu-menu yang sederhana dan murah: wedang jahe, teh panas, kopi, susu (dengan segala variasinya), dan berbagai gorengan: tempe, tape, tahu susur, tela, rolade (daun singkong yang dibungkus tahu dan tepung). Juga ada menu nasi kucing, sate usus dan kepala ayam.

Hik bukan sekedar tempat makan dan minum. Hik juga merupakan tempat yang ideal untuk bersosialisasi dan menjaga hubungan baik dengan orang-orang di sekitar kita. Hik juga menjadi sumber informasi! Berita-berita terkini seputar kampung bisa kita ketahui dengan cepat dari hik. Bahkan implikasi dari kebijakan-kebijakan pemerintah seperti kenaikan BBM dan dana kompensasinya bisa kita rasakan dampaknya di warung hik. Di warung hik kita melihat kebenaran dalam realitas, bukan sekedar kebenaran di atas kertas. Soal dana kompensasi, misalnya, seorang ketua RT yang juga sering wedangan di hik tersebut mengeluh bahwa ia didesak rakyatnya agar dana kompensasi itu dibagi saja merata untuk seluruh warga. Jika tidak, itu akan mempengaruhi sendi-sendi gotong royong di desa, dan dikhawatirkan pada acara-acara kerja bakti atau hajatan, akan ada orang-orang yang tak bersedia rewang (kerja gotong royong) karena tidak menerima dana kompensasi. Hal-hal seperti itu tidak nampak di atas kertas, tapi di warung hik kita dapat melihatnya begitu jelas. Pejabat dan menteri saya kira harus rutin mengunjungi hik, agar tahu realitas yang sebenarnya di masyarakat.

Hik juga merupakan tempat hiburan yang gratis. Saya dapat bermain catur tiap hari hingga tengah malam. Di warung hik tersebut akan ngumpul jagoan-jagoan catur di kampung kami. Salah satunya adalah Kerdil: orangnya pendek dan dia tak terkalahkan. Saya selalu kalah melawan dia. Salah seorang kawan berkelakar, bahwa Kerdil jago main catur karena tubuhnya pendek. Apa soal? Karena tubuhnya pendek, maka jarak hati ke otaknya pun makin singkat: jadi dia lebih cepat menangkap sinyal-sinyal yang memercik dari hati. Meskipun dia hanya berkelakar, saya merenung dalam: kecerdasan yang sejati harus mengalir dari hati, bukan dari pikiran semata. Kecerdasan pikiran melahirkan berbagai ideologi. Satu ideologi melawan ideologi yang lain; satu sistem melawan sistem yang lain. Dan manusia terhimpit di tengahnya. Manusia bisa menjadi begitu kejam demi mempertahankan suatu ideologi (atas nama apapun!). Sedangkan belaskasih, yang mengalir dari hati, tidak bersifat ideologis. Jika saya harus memilih antara suara hati yang penuh belas kasih dan tuntutan ideologi, saya akan menolak ideologi tanpa ragu-ragu. Soal suara hati ini saya teringat essay Mohammad Sobari (pemimpin Kantor Berita Antara) yang saya dengar di Smart FM:

"Kata hati, mata hati
Bukan kecerdasan, atau kepandaian
Buat apa cerdas dan pandai, tapi tak memiliki mata hati dan kata hati yang terang.
Mata hati dan kata hati yang selalu bicara ketulusan dan sikap jujur."

DOA: Ya, Tuhan, pendekkanlah jarak otak dan Hatiku.


***

Nyadran

Nyadran


Di kampung saya masih sering diadakan upacara nyadran. Meski frekuensinya sangat berkurang dibandingkan ketika saya masih kecil dulu. Dulu sewaktu saya masih kecil, setiap bulan 'Ruwah', hampir setiap rumah mengadakan kenduri untuk mengenang arwah anggota keluarga yang telah meninggal. Sehingga setiap bulan 'Ruwah', hampir tiap petang saya bisa makan daging ayam kampung yang direbus. Tapi acara kenduri seperti itupun sekarang berkurang sekali. Hanya masih tersisa satu dua keluarga yang bersedia mengadakannya.

Sedangkan 'nyadran' adalah semacam kenduri juga yang biasa diadakan di tempat keramat. Di kampung kami terdapat dua tempat keramat ini: Sumur Kidul (sebuah sumur tua dengan pohon beringin besar ) dan Punden (yang dipercaya sebagai tempat peristarahatan Sunan Giri sewaktu singgah di kampung kami. Kini kampung di mana terdapat petilasan Sunan Giri tersebut diberi nama kampung Giren (kependekan dari 'Sunan Giri leren'). Setahun sekali pada peringatan hari bersih desa (sedekah bumi), orang-orang membawa ayam ingkung lengkap dengan nasi dan lauk-pauknya ke Punden. Di sana mereka akan saling berbagi: dan dengan demikian memulihkan harmoni (keselarasan) hubungan manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam semesta, bahkan manusia dengan roh-roh gaib yang tidak kelihatan.

Inti budaya Jawa adalah: Harmoni (keselarasan). Keselamatan ditemukan di dalam harmoni. Sehingga kenduri disebut juga: slametan. Di dalam kenduri, orang sekampung berkumpul, dan berbagi makanan dari 'ambeng' yang sama: hubungan baik dipulihkan, harmoni kembali ditegakkan. Orang Jawa bukan saja merindukan harmoni dalam hubungan antar manusia tapi juga hubungan manusia dengan alam semesta, bahkan dengan roh-roh gaib yang tidak kelihatan: maka diberikanlah sesaji di tempat-tempat angker: sumur-sumur tua dan pohon-pohon besar. Mereka tidak bermaksud 'menyembah' roh-roh tersebut, tapi sekedar bermaksud memulihkan keselarasan dengan seluruh alam (termasuk dengan alam yang tidak kelihatan).

Karena hanya di dalam keselarasan (harmoni) dapat ditemukan keselamatan. Jika harmoni ini terganggu maka timbulah bencana: banjir bandang, perang, kerusuhan, terorisme, sakit-penyakit... dan semua bentuk 'sengkala' lainnya.

Walahualam.


***

Otak Reptil, Cinta, Meteng dan Mbobot

Otak Reptil, Cinta, Meteng dan Mbobot

Saya pernah mendengarkan sebuah acara perbincangan di Smart FM tentang pembentukan karakter anak, yang mendatangkan dua orang pembicara ahli dari SD dan TK Karakter di Jakarta. Kedua orang ahli tersebut mengupas faktor-faktor apa saja yang turut menentukan dalam proses pembentukan karakter anak, termasuk dari segi biologisnya, yaitu mengenai organ yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter: otak.
Menurut kedua ahli tersebut, dalam belahan otak manusia terdapat paling tidak dua komponen yang sangat menentukan dalam perkembangan karakter seorang anak yaitu: otak reptil dan otak mamalia sempurna. Seperti namanya, otak reptil mengendalikan perilaku seperti binatang melata: agresif, buas, kurang ramah, atau bahkan bengis. Sedangkan otak mamalia sempurna mengendalikan perilaku yang lebih human: ramah, lemah lembut dan bijak. Dalam penelitian disimpulkan bahwa saat seorang anak tertekan atau merasa terancam, otak reptilnya akan terpacu... dan dia cenderung menjadi agresif, kasar dan kejam. Sebaliknya jika dia diperlakukan dengan baik, penuh pengertian dan kasih sayang... otak mamalia-sempurna yang akan terpacu, dan dia menampilkan perilaku yang lebih ramah, lemah lembut dan manusiawi.
Cinta adalah energi penciptaan, begitu kata Anthony de Mello. Perlakukan seorang anak dengan kejam, dia pun akan tumbuh menjadi pribadi yang kejam. Perlakukan seorang anak dengan penuh cinta, dia pun akan tumbuh menjadi pribadi yang baik, ramah dan penuh kasih sayang. Seorang ilmuwan di Barat pernah mengadakan eksperimen pada sejumlah ekor tikus: beberapa ekor tikus diperlakukan dengan baik dan ramah: dan mereka menjadi makhluk yang lebih cerdas dari kawan-kawannya yang kurang diperhatikan atau tidak cukup dipelihara. Seorang anak sekolah yang disayang gurunya, mendapat perhatian yang cukup, dan dipercaya untuk melakukan sesuatu, tumbuh menjadi pribadi yang lebih cerdas dan mandiri.
Lain di Barat, lain lagi di Timur. Jika orang Barat cenderung mengilmiah-ilmiahkan segala sesuatu dan logis, orang Timur cenderung menggunakan rasa dalam memahami sesuatu. Sehingga kalau orang Barat cenderung berkata, "I think..." orang Jawa akan berkata, "Yen dak rasak-rasakake..." Bagi orang Jawa rasa adalah kebenaran tertinggi, bukan nalar atau logika. Maka orang Jawa pun menggunakan rasanya dalam memahami segala sesuatu, termasuk proses dalam pembentukan karakter anak. Menurut orang Jawa karakter anak sudah mulai terbentuk saat hubungan badan suami-istri: jadi berhati-hatilah saat melakukan hubungan badan... sebab kondisi batin saat itu akan sangat menentukan seperti apa watak atau karakter anak yang akan lahir kelak. Katakanlah seorang suami yang pulang mabuk, lalu marah-marah dan dengan nafsu berkobar yang bercampur amarah kemudian menggarap istrinya... anak yang lahir kelak bisa menjadi anak yang mudah marah, kasar, bengis dan jahat.
Begitulah, apa yang batin selalu mendahului apa yang lahir. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Dr. Damarjati Supajar, dosen filsafat timur UGM: dalam bahasa Jawa paling tidak terdapat dua kata berbeda yang berarti hamil, yaitu: meteng dan mbobot. Meteng berasal dari kata peteng (gelap), yaitu hasil perbuatan yang dilakukan gelap-gelapan... dengan hati yang gelap dan di tempat yang gelap! Sedangkan mbobot berasal dari kata bobot: yaitu mengandung wiji sejati, benih sejati, yang semoga nantinya akan menjadi manusia yang berbobot.
Sayangnya berita yang lebih sering saya dengar adalah: seorang mahasiswi atau anak sekolah yang meteng. Ha..ha..ha...

***

Ontologi dalam Kebatinan JAwa

Ontologi Dalam Kebatinan Jawa


"To be or not to be, that's the question." kata Shakespeare. Pertanyaan serupa pun rupanya telah menghayuti pikiran orang Jawa. Benarkah kita benar-benar ada? Ataukah keberadaan kita hanya bersifat maya saja?

Dalam sebuah buku kebatinan Jawa, Serat Jatimurti (penerbit: Yayasan Djojo Bojo, tanpa nama pengarang), dibuat analogi seperti ini: gelombang dan samodera. Keberadaan gelombang adalah nisbi, sedangkan keberadaan samodera itu tetap adanya. Dalam pengertian ini, maka gelombang tidak dapat dikatakan benar-benar ada. Sebab keberadaannya bergantung pada keberadaan sesuatu yang lain: yaitu samodera. Bukankah sesuatu yang tidak bisa ber-ada dengan sendirinya, yang keberadaannya bergantung pada sesuatu yang lain, tidak bisa benar-benar disebut ada? Samoderalah yang benar-benar ada, sedangkan gelombang hanyalah manifestasi saja dari keberadaan samodera.

Demikian pula seluruh ciptaan: dari yang berukuran paling kecil hingga yang berukuran paling besar. Pada dasarnya, menurut buku Serat Jatimurti tersebut, keberadaan ciptaan bukanlah keberadaan yang dapat berdiri sendiri. Keberadaannya bergantung pada Keberadaan Yang Mutlak Ada. Sedangkan ciptaan hanyalah manifestasi dari Keberadaan Yang Maha Ada.

Dalam pengertian seperti inilah buku kebatinan Jawa tersebut mengungkapkan kepercayaannya pada Sang Pencipta: bahwa hanya TUHAN-lah Yang Maha Ada, sedangkan keberadaan seluruh makhluk semata-mata bergantung pada keberadaan-Nya. Namun Serat Jatimurti mengingatkan kita agar tidak menafikan keberadaan ciptaan, sebaliknya: jika keberadaan ciptaan saja tidak bisa kita sangkal, apalagi keberadaan Sang Pencipta.

Anthony de Mello pernah mengungkapkan analogi seperti ini: ibarat penari dan tariannya. Sebuah tarian tak dapat dipisahkan dari sang penarinya. Tapi keduanya juga bukanlah hal yang sama.

Kelembutan di Tengah Kekerasan

Kelembutan di Tengah Kekerasan


Saya sudah lama memperhatikan fenomena ini: di bagian belakang bak truk atau bis, sering kita jumpai tulisan-tulisan yang sangat puitis yang mencerminkan kelembutan, seperti: "SEBATAS TEMAN", "TANSAH TAK ELING ESEMMU", "TAK ENTENI TEKAMU", "HIDUP DI ATAS RODA", "DOA IBU". Ada juga yang berbunyi: "SEBATAS PANDANG DAN SAYANG", "IBUNE TINUK", "AYU ADHINE", "WANG SINAWANG", "STEL KENDHO", dan masih banyak lagi. Ternyata mereka yang setiap hari bergulat dengan kehidupan jalanan yang keras, menyimpan kerinduan yang mendalam akan kelembutan.

Kehidupan jalanan memang kehidupan yang keras. Dalam bahasa Jawa kata 'sopir' memiliki jarwa dhosok: yen ngaso mampir, artinya: setiap kali istirahat, mereka akan mampir. Mampir di sini memiliki konotasi yang negatif: bukan saja mampir di warung makan, tapi juga bisa berarti 'mampir' ke wanita lain. Kehidupan jalanan juga identik dengan hal-hal maksiat: seperti judi dan minuman keras. Tentu saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua sopir dan kondektur adalah penjudi dan peminum! Sebab mungkin ada juga sopir yang saleh. Tapi kebanyakan mereka akrab atau paling tidak pernah bersentuhan dengan hal-hal seperti itu.

Tapi seperti yang diuraikan dalam filsafat Tao, segala sesuatu yang berlawanan selalu berdampingan: ada siang, ada malam. Ada gelap, ada terang. Ada panas, ada dingin. Ada kekerasan, ada kelembutan. Ketika seseorang berada pada satu sifat secara ekstrim, sedemikian ekstrimnya, sampai dia mencapai titik puncak, dia akan rindu untuk bergerak ke arah yang berlawanan. Ketika seseorang berada dalam kehidupan jalanan yang keras, maka muncullah kerinduan yang mendalam untuk kembali pada kelembutan.

Dalam tradisi Jawa dikisahkan, sebelum bertemu Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dulunya adalah seorang begal (perampok). Namun Sunan Bonang mampu melihat kelembutan di balik hidupnya yang keras. Dia membantu anak muda tersebut menemukan kelembutan di dalam dirinya. Dan akhirnya begal tersebut menjadi seorang wali yang sangat dihormati di pulau Jawa. Kisah seperti itu saya kira tidak berlebihan: saya pernah bertemu seorang kyai di Boyolali yang dulunya adalah seorang 'preman'. Jenuh dengan kehidupan jalanan yang tidak memberikan ketentraman, dia masuk pesantren. Oleh kyainya dia dipertemukan dengan seorang wanita yang hafal Alquran yang kini menjadi istrinya. Kini mereka berdua mengasuh sebuah pondok pesantren dengan jumlah santri sekitar 40-an yang berasal dari keluarga tidak mampu maupun yatim piatu. Batu yang sekeras apapun akan dapat dibentuk oleh air yang lembut.

Makin keras kehidupan yang dijalani seseorang, makin kuat ia merindukan kelembutan. Saya sangat tersentuh ketika saya melihat di bagian belakang bak truk yang kotor penuh debu terdapat lukisan tokoh kartun pujaan anak-anak: Dora - The Explorer. Pernah juga saya melihat sebuah bak truk yang dihiasi dengan lukisan seorang wanita berjilbab dengan wajah teduh dan sorot mata yang lembut, bertuliskan: ISTRI IDAMAN. Ada juga yang lucu, sebuah truk yang sering berlalu-lalang di kampung saya, bagian belakangnya digambari wajah raksasa yang mengerikan dengan taring-taringnya yang menonjol keluar, di samping wajah menyeramkan tersebut terdapat tulisan: AKU OLA OKOT (maksudnya: aku ora nyokot, saya tidak menggigit), seolah hendak mengingatkan kita betapa pun keras kehidupan yang mereka jalani, mereka pun memiliki sisi-sisi yang "human" dan lembut.

Tapi yang satu ini benar-benar lucu dan mencerminkan kehidupan jalanan: Di bagian belakang sebuah bak truk terdapat gambar seorang wanita seksi tengah hamil, dengan tulisan di sebelahnya: GARA-GARA ULAH KONDEKTUR.


***

Semar dan Socrates


Sejak kecil saya gemar nonton wayang kulit. Kisah-kisahnya sangat mengesankan dan heroik. Dan di dalamnya juga terdapat banyak pelajaran spiritual yang bisa kita petik. Wayang kulit adalah bahasa pralambang, tamsil atau isyarat. Watak jujur misalnya, dipersonafikasikan sebagai tokoh Bima Sena, atau Arya Werkudara, kstaria gagah perkasa berpostur raksasa, dan tidak bisa basa, tidak bisa menggunakan bahasa Jawa krama yang halus. Dia hanya bisa ngoko, atau menggunakan bahasa Jawa kasar. Bagi dia, kejujuran lebih penting daripada sekedar halus atau berbasa-basi. Sedangkan yang kita jumpai dalam budaya kita justru kebalikannya: lebih penting halus daripada jujur.

Kebalikannya adalah Buta Cakil: ini lambang kemunafikan. Buta Cakil adalah satu-satunya buta, atau raksasa dalam pewayangan, yang memiliki postur tubuh manusia atau ksatria. Kulitnya halus mulus seperti kulit manusia, bahkan pakaiannya batik seperti pakaian seorang priyayi, senjatanya pun keris, ini juga senjata para ksatria... hanya saja ia bermuka raksasa. Ia melambangkan makhluk-makhluk munafik: yang berpenampilan manusia, tapi sejatinya adalah raksasa buas pemakan manusia. Dan akhir lakon Buta Cakil selalu sama: dia mati berdiri tertusuk kerisnya sendiri.

Wayang kulit juga merupakan catatan perjalanan spiritualitas orang Jawa sendiri. Sebelum masuknya agama Hindu-Budha ke tanah Jawa, orang Jawa sudah menyembah Tuhannya sendiri yaitu Sang Hyang Taya: Dia Yang Tak Dapat Dibandingkan Dengan Segala Sesuatu. Sedangkan wayang kulit bukan produk Jawa 100%. Ceritanya diimpor dari India: Mahabharata dan Ramayana. Maka dewa-dewa Hindu pun menghiasi pakeliran wayang kulit: Bathara Brahma, Wisnu dan Bathara Guru. Dan pada zaman Islam, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga wayang kulit pun di-Islamkan. Dewa-dewa Hindu dianggap sebagai anak-anak keturunan Nabi Adam. Dan senjata ampuh milik Prabu Yudhistira kalimasada, yang aslinya adalah kalimahosadha, diartikan sebagai Kalimat Sahadat.

Yang menarik dalam zaman Islam ini adalah tokoh Yamadipati: dewa pencabut nyawa yang berpenampilan seperti ulama, dengan jubah panjang, sorban, dan janggut panjang. Menurut Agus Sunyoto, dalam novelnya Syaikh Siti Jenar (LKiS 2003), tokoh Yamadipati ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga untuk menggambarkan para ulama gadungan yang bersedia diperbudak oleh Sultan Trenggana untuk menebarkan kematian dimana-mana demi membasmi musuh-musuh politiknya.

Perjumpaan Demak Islam dengan Portugis yang beragama Kristen juga meninggalkan catatan dalam dunia pewayangan, yaitu seorang tokoh bernama: Dewa Srani (dari kata serani atau Nasrani). Dewa Srani digambarkan sebagai seorang dewa di kahyangan, dengan muka berwarna putih, anak Bathari Durga yang berkeinginan merebut kerajaan Prabu Yudhistira. Kehadiran Dewa Srani ini bukan saja menggambarkan kehidupan politik di Nusa Jawa pada masa itu, tapi bahkan merambah ke isu theologis: yaitu polemik khas Islam-Kristen tentang ajaran Tauhid (keesaan Tuhan): dalam sebuah lakon carangan misalnya, diceritakan bahwa Dewa Srani berusaha merebut senjata Prabu Yudhistira yang sangat ampuh yaitu kalimasada atau Kalimat Sahadat.

Namun tokoh yang paling sakral dalam dunia pewayangan adalah Semar: dewa asli Jawa. Ia digambarkan sebagai seorang manusia biasa, bahkan seorang rakyat jelata, abdi yang setia... namun ia tidak mau tunduk-sujud menyembah kepada siapapun, tidak kepada raja-raja kaya, tidak pula kepada dewa-dewa di kahyangan. Misinya murni untuk menjaga harmoni semesta raya. Dan demi mengemban tugasnya itu ia kalau perlu mendamprat dewa-dewa di kahyangan dan mempermalukan mereka. Semar tak pernah takut pada para dewa. Ia berperan di Nusa Jawa seperti halnya Socrates di Yunani. Dialah yang menyerukan pada penduduk di Nusa Jawa agar tidak sujud menyembah kepada apapun atau siapapun kecuali Sang Hyang Taya: Ia Yang Tak Dapat Dibandingkan Dengan Segala Sesuatu. Bahkan Agus Sunyoto dalam novelnya Syaikh Siti Jenar (LKiS, 2003), menyebut Semar (Dyah Hyang Semar) sebagai nabinya orang Jawa pada jaman purbakala yang menyampaikan ajaran Tauhid.


***

Nonton Ledhek

Saya pernah melihat pertunjukan ledek di sebuah kampung terpencil,kampung yang jauh dari kehidupan kota yang serba sibuk dan tak pernah mengenal istirahat. Malam itu sehabis hujan deras, jadi jalan-jalan di kampung becek, bahkan untuk menuntun sepeda motor punkesulitan karena roda-rodanya lengket dengan tanah.

Sandal dan kakipun kotor penuh lumpur. Setelah selesai bersusah payah, sampaijuga akhirnya kami di tempat pertunjukan. Mula-mula kami hanyamenonton dari luar, karena kami tidak mendapat undangan. Tapikebetulan seseorang dari desa tersebut mengenal kami, danmempersilakan kami masuk dan memberi suguhan sebagaimana mestinya:teh panas, emping, lemper, jadah, wajik, dan tak ketinggalan kari ayam.Musik tayub mulai mengalun: sederhana dan lugas. Berbeda dengangendhing-gendhing halus gaya Surakarta, musik tayub lebih menghentakdan, yang paling aku sukai, liriknya benar-benar lugas: othok kowokkembang srikatan, bengi ngothok awan pegatan...Tiga orang penari ledek, ketiganya tidak begitu cantik dan tubuhnyagemuk, menari di tengah arena. Para tamu undangan duduk lesehan diatas tikar berharap mendapatkan sampur. Siapapun yang ketiban sampur(mendapat selendang warna kuning) dari sang Ledek harus bersediatampil ke depan dan menari bersama ledek. Mula-mula yang mendapatgiliran adalah orang-orang tua yang duduk di deretan depan. Makinmalam, dan makin banyak penonton yang mendem ciu, musik makin kerasdan arena makin kacau. Anak-anak muda mengerubuti para ledek, dan sering menggerayangi pantat atau mencium pipi mereka.
Hal yang paling berkesan bagiku, dan masih kukenang hingga sekarangadalah ketika saya melihat seorang kakek mendapat giliran untukmenari. Seorang kakek, yang duduk di deretan depan di antarapenonton, ketiban sampur. Dengan perlahan-lahan namun penuh percayadiri, sang kakek pun bangkit. Gendhing mengalun, dan sang kakek punmenari dengan sepenuh hati.Bagi sang kakek, yang sudah uzur, hidup tinggal sesaat lagi. Hidupmemang tak lama, seperti kembang api yang bersinar sesaat kemudianlenyap. Sang kakek menyadari sepenuhnya kesementaraan hidup. Dan dengan menari sang kakek merayakan kehidupannya. Life is acelebration. Dengan menari sang kakek melebur eksistensinya ke dalam seluruh Keberadaan. Dengan menari sang Kakek menemukan essensidirinya. Jika seorang filsuf berkata: Aku berpikir maka aku ada, makabagi sang kakek: Aku menari maka aku ada.

Pernahkah kita menari sepenuh hati untuk merayakan Kehidupan? November 2004, Dukuh Bangoan, Desa Gilirejo (Daerah Genangan Waduk Kedungombo)

Gamelan Sekaten

Gamelan Sekaten


Setiap kali mengunjungi sekaten, saya selalu menyempatkan diri mendengarkan gamelan sekaten. Konon, mendengarkan gamelan sekaten bikin orang awet muda, panjang umur, dan gampang golek sandhang pangan. Entah benar entah tidak, gamelan sekaten menurut saya sangat artistik: pada awalnya tersendat-sendat dan meledak-ledak, seperti musik tango yang 'histeris' ; makin lama makin lembut, teratur, dan laras, lalu diakhiri dengan hingar bingar: menggambarkan perjalanan spiritualitas orang Jawa: mula-mula samar-samar, makin lama makin terang, sampai akhirnya menemukan pencerahan yang terang benderang.

Di dalam spiritualitas orang Jawa gamelan memiliki kedudukan yang sangat terhormat, sebab gamelan mengejawantahkan inti terdalam spiritualitas orang Jawa, yaitu: harmoni. Inti budaya Jawa adalah harmoni. Keselamatan hanya ditemukan di dalam harmoni. Jika harmoni terganggu, timbullah malapetaka (sengkala).

Di dalam alam pemikiran orang Jawa, segala sesuatu tercipta di dalam harmoni. Harmoni-harmoni kecil membentuk harmoni yang lebih besar, harmoni-harmoni yang lebih besar membentuk harmoni yang lebih besar lagi... hingga akhirnya membentuk satu-kesatuan harmoni yang maha besar: Hyang Agung.

Maka tak heran jika gamelan yang merupakan pengejawantahan harmoni, diberi gelar spiritual yang sangat terhormat, yaitu: kyai. Seperti Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari yang ditabuh di pelataran Masjid Agung dalam perayaan sekaten, yang konon diciptakan oleh Sunan Kalijaga.

Selain disuguhi gamelan sekaten, pengunjung sekaten di pelataran Masjid Agung juga selalu ditawari mbok-mbok bakul yang menjual kinang, telur asin (endhog kamal), cambuk (pecut), dan gangsingan. Yang masing-masing memiliki arti. Kinang: kinang terdiri dari lima unsur: enjet, gambir, suruh, kinang, mbako, yang menggambarkan kelima rukun Islam yang harus diamalkan pemeluknya, maka di setiap perayaan sekaten selalu dijumpai endhog kamal. Dalam mengamalkan itu kalau perlu seseorang harus 'mencambuk' diri sendiri, maka di setiap perayaan sekaten selalu dijumpai orang berjualan cambuk (pecut), agar ibadahnya kepada Tuhan bisa mubeng seser kaya gangsingan....



***

Tombeng

Tombeng adalah salah seorang yang saya percaya untuk memelihara beberapa ekor kambing saya. Serahkanlah pekerjaan pada ahlinya, maka pekerjaan tersebut akan beres. Dan soal merawat kambing, Tombeng adalah ahlinya. Kambing-kambing saya terpelihara dengan baik di kandang belakang rumahnya. Dua kali sehari dia ngarit mencari pakan. Tiap hari paling tidak dia akan mencemaskan hal ini: Kemana lagi hari ini aku akan mencari pakan?

Dan mencari pakan bukanlah hal yang mudah: Menentukan lokasi di mana dia dapat menemukan dedaunan yang segar yang disukai kambing, dan lebih-lebih lagi tak akan ada orang yang keberatan jika dia ngarit di situ, bukanlah persoalan yang sepele. Namun dia sudah ngarit kurang lebih tujuh tahun, dan dia selalu menemukan lokasi untuk mencari pakan. Bagi saya hal itu sudah merupakan sebuah keajaiban.

Dan Tombeng saya rasa bukan saja mencukupi kebutuhan pakan kambing-kambingnya, tapi juga memelihara mereka dengan penuh rasa kecintaan.

Soal urusan cinta perkambingan ini saya rasa tidak berlebihan. Saya pernah diajak Tombeng mengawinkan kambing. Karena kami tidak punya kambing pejantan, kami terpaksa harus pergi ke kampung sebelah pada seseorang yang memiliki kambing pejantan etawa. Kambing pejantan etawa ini ukurannya sangat besar, sehingga kambing babon kami tak akan kuat menopang berat badannya. Maka mengawinkan kambing bukanlah persoalan yang mudah, terutama jika pejantannya setinggi dada orang dewasa! Tapi Tombeng adalah seorang yang pantang menyerah dan selalu penuh semangat. Maka dia pun duduk bersandar pada tembok dengan posisi badannya agak condong ke belakang. Dengan kedua tangannya dia menopang kambing babon yang tepat berada di atas tubuhnya, sementara si kambing pejantan 'main' dari belakang. Saya tak bisa menahan geli melihat adegan tersebut. Dan boleh percaya atau tidak, kambing pun melakukan foreplay sebelum main. Saya melihat dengan kepala saya sendiri, kambing pejantan dengan rakus menjilati pipi kambing betina. Dan karena muka Tombeng begitu dekat berhadapan dengan muka kambing betina, saya takut kalau-kalau kambing pejantan itu salah mencium pipi yang mana.

Namun Tombeng bukan saja pandai bergaul dengan kambing. Dia juga seorang yang sangat luwes dalam pergaulan. Dia disukai semua orang. Di mana saja dia berada, dia selalu menjadi pusat perhatian dan menebarkan semangat pada orang-orang yang ada di sekitarnya. Tombeng dapat menembus batas. Dia dapat bergaul baik dengan semua kalangan. Meskipun pekerjaan sehari-harinya cuma ngarit, dia dapat bercanda akrab bahkan saling meledek dengan kalangan birokrat yang ada di kecamatan, juga dengan bapak-bapak polisi yang ada di Polsek. Pada acara-acara seperti hajatan dia akan jagongan bersama 'orang-orang penting' dalam pemerintahan desa dan tertawa bersama mereka. Mereka menyukai Tombeng. Kami semua menyukai Tombeng.

Saat pemilihan umum atau pemilihan kepala desa, Tombeng menjadi seorang tokoh yang sangat diperhitungkan. Kemampuannya bergaul baik dengan semua kalangan menjadikan dia cukup menentukan dalam perolehan suara. Tombeng dapat mempengaruhi suara orang banyak.

Saya sering merenungkan pribadinya: Dia bukan seorang kaya, bukan seorang yang berkuasa, bukan seorang yang berpendidikan tinggi, juga bukan seorang pria yang tampan, tapi kehadirannya sungguh berarti. Bahkan dalam urusan politik pun dia menjadi tokoh yang sangat diperhitungkan. Orang macam apakah itu?

Hidupnya memang seperti kura-kura yang merangkak dalam lumpur, tapi seperti yang dikatakan oleh Chuang Tzu, kura-kura yang merangkak dalam lumpur jauh lebih baik daripada kura-kura yang diawetkan dengan air keras dan tinggal di istana raja.



***

Zen: Lepas dari Konsep

Alkisah, terdapat lima orang buta yang meraba seekor gajah: mereka ingin mengetahui seperti apa bentuk gajah. Namun karena besarnya tubuh sang Gajah, kelima orang buta tersebut ternyata hanya memegang sebagian tubuh gajah saja: Ada yang memegang perutnya, ada yang memegang kakinya, yang lainnya memegang ekornya, kupingnya, dan belalainya. Usai memegang sang Gajah, maka mulailah mereka berdebat tentang seperti apa bentuk gajah itu:

"Gajah itu besar seperti tong raksasa," kata si Buta yang memegang perut gajah. Yang lain pun menertawakannya.

"Gajah itu tegak kokoh seperti batang bambu." Ini keyakinan orang yang memegang kakinya

"Gajah itu seperti kipas," karena ia hanya memegang telinganya

"Gajah itu seperti selang besar," sebab belalainyalah yang ia pegang

"Gajah itu seperti cemeti," sebab ia hanya memegang ekornya saja.

Kisah di atas mengilustrasikan betapa mudahnya pikiran manusia terbelenggu oleh konsep yang diciptakannya sendiri karena keterbatasan pengalamannya. Konsep dan praduga semacam itulah yang tak henti-hentinya menciptakan konflik atau bahkan permusuhan yang tak habis-habisanya antara orang satu dengan orang lainnya bahkan antara peradaban satu dengan peradaban lainnya.

Karena itulah dalam Zen diajarkan betapa pentingnya seseorang melepaskan pikirannya dari segala macam konsep yang membelenggunya. Hanya ketika seseorang telah lepas dari konsep, ia dapat melihat sesuatu sebagaimana adanya. Hakekat segala sesuatu inilah yang di dalam Budhisme disebut sebagai tathata atau suchness. Uniknya istilah tathata ini berasal dari ucapan pertama setiap bayi yang belum bisa berkata-kata: da-da-da. Sebab pikiran bayi masih murni, belum tercemari oleh konsep apapun: termasuk konsep yang ada pada kata-kata.

Dalam Zen ditekankan pentingnya lepas dari konsep kata-kata. Kata-kata diibaratkan jari yang dapat menunjuk ke bulan, tapi jari itu sendiri bukanlah bulan. Biara-biara Zen terkenal dengan cara penyampaian ajarannya tanpa menggunakan kata-kata, tetapi melalui bentuk-bentuk meditasi seperti dalam upacara minum teh seperti yang populer di Jepang.

Soal terlepas dari belenggu konsep dan kata ini, menarik kita amati bahwa terdapat sejumlah karya besar yang sekedar bermain-main dengan kata, tanpa memiliki konsep apapun: tetapi justru menembus makna yang paling dalam: seperti puisi-puisi magis Sutardji Calzum Bachri, maupun lukisan-lukisan abstrak Nashar, kisah-kisah absurd dalam cerpen-cerpen Budi Darma, ataupun penggalan lirik Lewis Carroll Through The Looking Glass (1872) di bawah ini:

"Twas brillig, and the slithy toves did gyre in the wabe, all mimsy were the borogoves, and the mome rath outgrabe..."

Meski agak menyimpang dari topik pembicaraan, dalam budaya Jawa pun dikenal berbagai mantra yang sesungguynya adalah serangkaian kata-kata yang tak bermakna, lepas dari belenggu konsep. Seperti mantra yang diajarkan Kyai Tunggul Wulung untuk pengusiran dhemit di bawah ini:

"Ancak-ancak ali-ali, si ali kebo janggitan, anak-anak kebo dungkul, si dungkul kapan gawene, tiga rendheng anjang-anjang gubuk bala, unine gerenteng cepluk."

Atau mantra agar tak mudah jatuh dalam godaan seperti di bawah ini (maaf agak porno):

"Pring-pring petung, anjang-anjang peli buntung, aja menggok aja noleh, ana turuk gomblah-gambleh."



***

Monday, June 05, 2006

Urat Garis Tangan

Kontemplasi:


Urat Garis Tangan


Urat-urat garis tangan kata orang ada yang menggambarkan nasib yang akan dialami seseorang. Entah benar entah tidak saya kurang tahu, tapi yang jelas ada sesuatu yang dapat dambil pelajaran dari urat-urat garis di telapak tangan kita: garis tangan tersebut membentuk pola tertentu, namun juga tak ada garis tangan yang benar-benar berbentuk garis-garis lurus seperti lurusnya sebuah penggaris. Demikian juga awan: tak ada awan yang berbentuk lingkaran atau segi-empat... namun bentuk awan juga bukan chaos, atau kacau sama sekali. Ada pola-pola tertentu yang diikuti, namun pola-pola tersebut bukanlah bentuk-bentuk geometris yang kaku. Pola-pola tersebut lebih menyerupai art atau seni, dan selalu berada dalam keadaan yang harmonis. Begitulah hukum alam: hukum yang mengatur alam dan kehidupan. Hukum tersebut tidak bersifat kaku. (Bahkan hukum gravitasi Newton yang memiliki persamaan matematika yang eksak itupun memiliki toleransi kesalahan, mereka yang pernah mempelajari fisika secara serius akan tahu hal ini). Hukum tersebut lebih menyerupai art atau seni dan mencerminkan keadaan yang harmoni. Bahkan Lao Tse menolak untuk menerjemahkan Hukum Alam Yang Agung (TAO) ke dalam peraturan-peraturan yang kering dan kaku. Yang kaku adalah ciri yang mati, seperti alang-alang yang mati itu kaku. Yang lentur adalah ciri kehidupan, seperti alang-alang yang hidup itu lentur. Bayangkan betapa jelek hidup ini: jika pohon kelapa itu benar-benar lurus seperti penggaris, dan awan berbentuk lingkaran, dan gunung Merapi berbentuk segi-tiga sama kaki.... Tapi sayangnya, ada orang-orang tertentu yang ingin membuat kehidupan menjadi seperti itu. Menurut saya itu akan sangat tidak menarik!

***