Tuesday, June 13, 2006

Pram

Pram (bukan nama sebenarnya) lahir di tengah keluarga yang terhormat. Kedua orang tuanya bekerja di jawatan pemerintah dan sangat disegani di desanya. Semua saudaranya, kakak-kakak dan adik-adiknya, jadi 'orang' di kota: ada yang jadi tentara, atau bekerja di bank yang bergengsi, dan sebagainya... Tapi Pram sendiri yang celaka dalam hidupnya: ia terpuruk di lokalisasi murahan, di dalam pelukan seorang pelacur yang tidak lagi muda usianya dan tidak cantik pula wajahnya.

Tentu semua orang dalam keluarga Pram prihatin atas nasib yang menimpa, atau mungkin sengaja dipilihnya sendiri itu. Berkali-kali keluarga Pram berusaha membebaskan pemuda malang itu dari lembah hitam: saudara-saudaranya di kota berulang kali membawa Pram ke Jakarta dan mencarikannya pekerjaan di sana. Bahkan kedua orang tuanya tak segan-segan mencarikan seorang istri banginya agar ia mau meninggalkan pelacur itu, dan hidup normal sebagai seorang petani di desa. Tapi berulangkali pula Pram mengecewakan keluarganya: ia selalu kembali ke tempat lokalisasi murahan itu, ke dalam pelukan seorang pelacur tua yang tidak begitu cantik wajahnya...


Analisa kejiwaan:

Tinggal di tengah keluarga yang terhormat, dan memiliki saudara-saudara yang jadi 'orang', tidak selalu menjadi hal yang mudah: tentu akan banyak tuntutan bagi seorang yang berada di tengah keluarga seperti itu: harus begini, harus begitu... tidak boleh begini, tidak boleh begitu... Dan tuntutan-tuntutan semacam itu bisa menjadi sangat membebani: seringkali kita terpaksa harus memakai topeng atau berpura-pura menjadi orang lain demi memenuhi tuntutan yang berhubungan dengan 'status' yang ditempelkan orang pada kita. Kita bahkan takut menjadi diri sendiri. Dan terus-menerus memakai topeng tentu akan sangat melelahkan!

Saat kelelahan itu mencapai puncaknya, maka sesuatu di dalam jiwa kita pun berontak: kita menepiskan segala kebutuhan untuk dihormati, disegani, atau bahkan kebutuhan akan hidup yang nyaman. Akhirnya kita berani melakukan apa saja untuk mendapatkan kebutuhan kita yang paling dasar: kebutuhan untuk dicintai, untuk diterima sebagaimana diri kita apa adanya... sehingga kita tidak perlu terus-menerus memakai topeng atau menjadi orang lain, sehingga kita merasa nyaman menjadi diri kita sendiri. Dan mungkin di lokalisasi murahan itulah Pram menemukan seorang yang menerima dirinya apa adanya, sehingga dia tidak harus menjadi orang lain... di dalam pelukan seorang pelacur tua yang tidak begitu cantik wajahnya.

Pengalaman Pram mengingatkan saya akan apa yang pernah ditulis oleh Caroline Reynolds: "One day you will come to realise that you are simply an eternal essence in need of nothing exept love."



***

0 Comments:

Post a Comment

<< Home