Tuesday, June 06, 2006

Hik

Hik


Hik adalah tempat saya wedangan setiap hari. Di warung hik saya dapat menemukan sajian menu-menu yang sederhana dan murah: wedang jahe, teh panas, kopi, susu (dengan segala variasinya), dan berbagai gorengan: tempe, tape, tahu susur, tela, rolade (daun singkong yang dibungkus tahu dan tepung). Juga ada menu nasi kucing, sate usus dan kepala ayam.

Hik bukan sekedar tempat makan dan minum. Hik juga merupakan tempat yang ideal untuk bersosialisasi dan menjaga hubungan baik dengan orang-orang di sekitar kita. Hik juga menjadi sumber informasi! Berita-berita terkini seputar kampung bisa kita ketahui dengan cepat dari hik. Bahkan implikasi dari kebijakan-kebijakan pemerintah seperti kenaikan BBM dan dana kompensasinya bisa kita rasakan dampaknya di warung hik. Di warung hik kita melihat kebenaran dalam realitas, bukan sekedar kebenaran di atas kertas. Soal dana kompensasi, misalnya, seorang ketua RT yang juga sering wedangan di hik tersebut mengeluh bahwa ia didesak rakyatnya agar dana kompensasi itu dibagi saja merata untuk seluruh warga. Jika tidak, itu akan mempengaruhi sendi-sendi gotong royong di desa, dan dikhawatirkan pada acara-acara kerja bakti atau hajatan, akan ada orang-orang yang tak bersedia rewang (kerja gotong royong) karena tidak menerima dana kompensasi. Hal-hal seperti itu tidak nampak di atas kertas, tapi di warung hik kita dapat melihatnya begitu jelas. Pejabat dan menteri saya kira harus rutin mengunjungi hik, agar tahu realitas yang sebenarnya di masyarakat.

Hik juga merupakan tempat hiburan yang gratis. Saya dapat bermain catur tiap hari hingga tengah malam. Di warung hik tersebut akan ngumpul jagoan-jagoan catur di kampung kami. Salah satunya adalah Kerdil: orangnya pendek dan dia tak terkalahkan. Saya selalu kalah melawan dia. Salah seorang kawan berkelakar, bahwa Kerdil jago main catur karena tubuhnya pendek. Apa soal? Karena tubuhnya pendek, maka jarak hati ke otaknya pun makin singkat: jadi dia lebih cepat menangkap sinyal-sinyal yang memercik dari hati. Meskipun dia hanya berkelakar, saya merenung dalam: kecerdasan yang sejati harus mengalir dari hati, bukan dari pikiran semata. Kecerdasan pikiran melahirkan berbagai ideologi. Satu ideologi melawan ideologi yang lain; satu sistem melawan sistem yang lain. Dan manusia terhimpit di tengahnya. Manusia bisa menjadi begitu kejam demi mempertahankan suatu ideologi (atas nama apapun!). Sedangkan belaskasih, yang mengalir dari hati, tidak bersifat ideologis. Jika saya harus memilih antara suara hati yang penuh belas kasih dan tuntutan ideologi, saya akan menolak ideologi tanpa ragu-ragu. Soal suara hati ini saya teringat essay Mohammad Sobari (pemimpin Kantor Berita Antara) yang saya dengar di Smart FM:

"Kata hati, mata hati
Bukan kecerdasan, atau kepandaian
Buat apa cerdas dan pandai, tapi tak memiliki mata hati dan kata hati yang terang.
Mata hati dan kata hati yang selalu bicara ketulusan dan sikap jujur."

DOA: Ya, Tuhan, pendekkanlah jarak otak dan Hatiku.


***

0 Comments:

Post a Comment

<< Home