Tuesday, June 06, 2006

Zen: Lepas dari Konsep

Alkisah, terdapat lima orang buta yang meraba seekor gajah: mereka ingin mengetahui seperti apa bentuk gajah. Namun karena besarnya tubuh sang Gajah, kelima orang buta tersebut ternyata hanya memegang sebagian tubuh gajah saja: Ada yang memegang perutnya, ada yang memegang kakinya, yang lainnya memegang ekornya, kupingnya, dan belalainya. Usai memegang sang Gajah, maka mulailah mereka berdebat tentang seperti apa bentuk gajah itu:

"Gajah itu besar seperti tong raksasa," kata si Buta yang memegang perut gajah. Yang lain pun menertawakannya.

"Gajah itu tegak kokoh seperti batang bambu." Ini keyakinan orang yang memegang kakinya

"Gajah itu seperti kipas," karena ia hanya memegang telinganya

"Gajah itu seperti selang besar," sebab belalainyalah yang ia pegang

"Gajah itu seperti cemeti," sebab ia hanya memegang ekornya saja.

Kisah di atas mengilustrasikan betapa mudahnya pikiran manusia terbelenggu oleh konsep yang diciptakannya sendiri karena keterbatasan pengalamannya. Konsep dan praduga semacam itulah yang tak henti-hentinya menciptakan konflik atau bahkan permusuhan yang tak habis-habisanya antara orang satu dengan orang lainnya bahkan antara peradaban satu dengan peradaban lainnya.

Karena itulah dalam Zen diajarkan betapa pentingnya seseorang melepaskan pikirannya dari segala macam konsep yang membelenggunya. Hanya ketika seseorang telah lepas dari konsep, ia dapat melihat sesuatu sebagaimana adanya. Hakekat segala sesuatu inilah yang di dalam Budhisme disebut sebagai tathata atau suchness. Uniknya istilah tathata ini berasal dari ucapan pertama setiap bayi yang belum bisa berkata-kata: da-da-da. Sebab pikiran bayi masih murni, belum tercemari oleh konsep apapun: termasuk konsep yang ada pada kata-kata.

Dalam Zen ditekankan pentingnya lepas dari konsep kata-kata. Kata-kata diibaratkan jari yang dapat menunjuk ke bulan, tapi jari itu sendiri bukanlah bulan. Biara-biara Zen terkenal dengan cara penyampaian ajarannya tanpa menggunakan kata-kata, tetapi melalui bentuk-bentuk meditasi seperti dalam upacara minum teh seperti yang populer di Jepang.

Soal terlepas dari belenggu konsep dan kata ini, menarik kita amati bahwa terdapat sejumlah karya besar yang sekedar bermain-main dengan kata, tanpa memiliki konsep apapun: tetapi justru menembus makna yang paling dalam: seperti puisi-puisi magis Sutardji Calzum Bachri, maupun lukisan-lukisan abstrak Nashar, kisah-kisah absurd dalam cerpen-cerpen Budi Darma, ataupun penggalan lirik Lewis Carroll Through The Looking Glass (1872) di bawah ini:

"Twas brillig, and the slithy toves did gyre in the wabe, all mimsy were the borogoves, and the mome rath outgrabe..."

Meski agak menyimpang dari topik pembicaraan, dalam budaya Jawa pun dikenal berbagai mantra yang sesungguynya adalah serangkaian kata-kata yang tak bermakna, lepas dari belenggu konsep. Seperti mantra yang diajarkan Kyai Tunggul Wulung untuk pengusiran dhemit di bawah ini:

"Ancak-ancak ali-ali, si ali kebo janggitan, anak-anak kebo dungkul, si dungkul kapan gawene, tiga rendheng anjang-anjang gubuk bala, unine gerenteng cepluk."

Atau mantra agar tak mudah jatuh dalam godaan seperti di bawah ini (maaf agak porno):

"Pring-pring petung, anjang-anjang peli buntung, aja menggok aja noleh, ana turuk gomblah-gambleh."



***

0 Comments:

Post a Comment

<< Home