Tuesday, June 06, 2006

Kelembutan di Tengah Kekerasan

Kelembutan di Tengah Kekerasan


Saya sudah lama memperhatikan fenomena ini: di bagian belakang bak truk atau bis, sering kita jumpai tulisan-tulisan yang sangat puitis yang mencerminkan kelembutan, seperti: "SEBATAS TEMAN", "TANSAH TAK ELING ESEMMU", "TAK ENTENI TEKAMU", "HIDUP DI ATAS RODA", "DOA IBU". Ada juga yang berbunyi: "SEBATAS PANDANG DAN SAYANG", "IBUNE TINUK", "AYU ADHINE", "WANG SINAWANG", "STEL KENDHO", dan masih banyak lagi. Ternyata mereka yang setiap hari bergulat dengan kehidupan jalanan yang keras, menyimpan kerinduan yang mendalam akan kelembutan.

Kehidupan jalanan memang kehidupan yang keras. Dalam bahasa Jawa kata 'sopir' memiliki jarwa dhosok: yen ngaso mampir, artinya: setiap kali istirahat, mereka akan mampir. Mampir di sini memiliki konotasi yang negatif: bukan saja mampir di warung makan, tapi juga bisa berarti 'mampir' ke wanita lain. Kehidupan jalanan juga identik dengan hal-hal maksiat: seperti judi dan minuman keras. Tentu saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua sopir dan kondektur adalah penjudi dan peminum! Sebab mungkin ada juga sopir yang saleh. Tapi kebanyakan mereka akrab atau paling tidak pernah bersentuhan dengan hal-hal seperti itu.

Tapi seperti yang diuraikan dalam filsafat Tao, segala sesuatu yang berlawanan selalu berdampingan: ada siang, ada malam. Ada gelap, ada terang. Ada panas, ada dingin. Ada kekerasan, ada kelembutan. Ketika seseorang berada pada satu sifat secara ekstrim, sedemikian ekstrimnya, sampai dia mencapai titik puncak, dia akan rindu untuk bergerak ke arah yang berlawanan. Ketika seseorang berada dalam kehidupan jalanan yang keras, maka muncullah kerinduan yang mendalam untuk kembali pada kelembutan.

Dalam tradisi Jawa dikisahkan, sebelum bertemu Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dulunya adalah seorang begal (perampok). Namun Sunan Bonang mampu melihat kelembutan di balik hidupnya yang keras. Dia membantu anak muda tersebut menemukan kelembutan di dalam dirinya. Dan akhirnya begal tersebut menjadi seorang wali yang sangat dihormati di pulau Jawa. Kisah seperti itu saya kira tidak berlebihan: saya pernah bertemu seorang kyai di Boyolali yang dulunya adalah seorang 'preman'. Jenuh dengan kehidupan jalanan yang tidak memberikan ketentraman, dia masuk pesantren. Oleh kyainya dia dipertemukan dengan seorang wanita yang hafal Alquran yang kini menjadi istrinya. Kini mereka berdua mengasuh sebuah pondok pesantren dengan jumlah santri sekitar 40-an yang berasal dari keluarga tidak mampu maupun yatim piatu. Batu yang sekeras apapun akan dapat dibentuk oleh air yang lembut.

Makin keras kehidupan yang dijalani seseorang, makin kuat ia merindukan kelembutan. Saya sangat tersentuh ketika saya melihat di bagian belakang bak truk yang kotor penuh debu terdapat lukisan tokoh kartun pujaan anak-anak: Dora - The Explorer. Pernah juga saya melihat sebuah bak truk yang dihiasi dengan lukisan seorang wanita berjilbab dengan wajah teduh dan sorot mata yang lembut, bertuliskan: ISTRI IDAMAN. Ada juga yang lucu, sebuah truk yang sering berlalu-lalang di kampung saya, bagian belakangnya digambari wajah raksasa yang mengerikan dengan taring-taringnya yang menonjol keluar, di samping wajah menyeramkan tersebut terdapat tulisan: AKU OLA OKOT (maksudnya: aku ora nyokot, saya tidak menggigit), seolah hendak mengingatkan kita betapa pun keras kehidupan yang mereka jalani, mereka pun memiliki sisi-sisi yang "human" dan lembut.

Tapi yang satu ini benar-benar lucu dan mencerminkan kehidupan jalanan: Di bagian belakang sebuah bak truk terdapat gambar seorang wanita seksi tengah hamil, dengan tulisan di sebelahnya: GARA-GARA ULAH KONDEKTUR.


***

0 Comments:

Post a Comment

<< Home