Wednesday, June 28, 2006

Merangkul Kesederhanaan

Lirik sebuah lagu, termasuk dalam seni musik tradisional, menggambarkan pola pikir atau mindset dari budaya yang bersangkutan. Saya gemar memperhatikan lirik dalam gendhing-gendhing ataupun lagu-lagu Jawa terutama karena kesederhanaannya atau justru karena ketidak-bermaknaannya: yang justru menembus makna yang paling dalam.

Perhatikan penggalan lirik-lirik berikut ini:

"Eman-eman...."
"E... bapak-ne thole...."
"Dua lolo....."
"Nginang karo ngilo...."
"Alah bapak nganggo kathok..."
"Ijo...."
"Aduh lae...."
"Bukak sithik, joss!!"

Dalam Tao diajarkan tentang: merangkul balok kayu yang tak dipahat. Balok kayu yang tak dipahat adalah lambang keluguan, sifat asli apa adanya, tanpa dibuat-buat atau direkayasa, sesuatu yang sederhana dan alami. Seseorang harus kembali pada sifatnya yang asli, begitu kira-kira yang ingin disampaikan Lao Tse. Menarik sekali bahwa lirik-lirik dalam gending-gending Jawa menyuarakan hal yang sama: kata-kata yang begitu sederhana, bahkan nyaris tak bermakna... menampilkan kesederhanaan yang begitu Harmonis dan Agung. Kesederhanaan tanpa banyak aksesoris! Simplicity... begitu kata orang bule.

Bukankah simplicity itu yang sudah sering dilupakan orang dalam budaya pop sekarang ini? Sekarang ini orang lebih banyak mengejar akseoris daripada hal-hal yang basic atau mendasar. Orang tidak lagi berpikir: mau makan apa? Tapi: mau makan di mana? Atau bahkan: mau makan siapa? Ha..ha...ha...

"Carilah yang basic, dan tinggalkan aksesoris. Orang bijak mencari makan, dan bukan kepuasan rasa," begitu yang dikatakan Lao Tse. Dan setiap kali mendengarkan gendhing-gendhing Jawa saya selalu diingatkan akan hal itu:

"Ora butuh kae-kae, butuhku mung nyambut gawe...."

0 Comments:

Post a Comment

<< Home