Friday, August 10, 2007

Dursasana Vs. Werkudara, Atawa: Your Ego is Your True Enemy



Dalam pagelaran wayang kulit di Jawa terdapat sebuah lakon yang sangat berkesan di benak saya, yaitu lakon wayang yang menceritakan gugurnya Raden Dursasana, salah seorang prajurit Kurawa. Dursasana adalah adik kandung Prabu Duryudana di Ngastina Pura. Dia adalah prajurit Kurawa yang pongah. Kedudukannya sebagai adik kandung raja seringkali membuat dia merasa tidak terkalahkan. Dan ego-nya yang tinggi itu pulalah yang akhirnya menyeret dia pada jurang kematian.

Dikisahkan dalam perang Baratayuda, Dursasana harus berhadapan dengan Raden Werkudara, seorang ksatria Pandhawa yang gagah perkasa. Dalam perang tersebut, atas siasat yang diatur Sri Bathara Kresna, keduanya berada di kedua tepi sebuah sungai dan saling berseberangan. Werkudara di tepi sini, dan Dursasana di tepi sana. Namun uniknya perang yang terjadi di antara mereka bukanlah perang fisik, namun perang kesabaran. Mereka berdua saling mengejek dengan mengolok-olok ayah kandung lawannya. Ayah kandung Dursasana, yaitu Prabu Destrarasta, memiliki cacat fisik: buta matanya, sedangkan ayah kandung Werjudara Raden Pandu, fisiknya pun memiliki ketidaksempurnaan, yaitu tengeng atau lehernya tidak dapat berdiri tegak. Maka mereka pun saling meledek:

Dursasana: Paman Pandu tengeng, tengeng, tengeng....
Werkudara: Picek (buta), picek, picek....

Dursasana yang tidak bisa menahan diri akhirnya pun melompat ke dalam sungai dengan maksud untuk menyeberang dan membunuh lawannya, namun air sungai begitu deras, dan akhirnya dia pun mati terhanyut....

Senada dengan kisah di atas, dalam serial Kera Sakti dikisahkan bahwa Siluman Api Sakti memiliki buah labu, dan barangsiapa yang ia panggil namanya dan menoleh, akan tersedot ke dalam buah labunya tersebut dan terkurung di dalamnya.

Baik lakon wayang Dursasana Vs. Werkudara maupun serial Kera Sakti di atas, mengajarkan bahwa keterikatan seseorang pada identitas diri, pada ego atau pada apapun yang merupakan kepanjangan dari ke-aku-annya bisa sangat berbahaya dan membawa seseorang pada kebinasaan, atau paling tidak ia akan terpenjara dalam kesempitan egonya sendiri!

Aksara Jawa Ha-na-ca-ra-kaDan Ketakutan Orang Jawa Akan Disharmoni





ha na ca ra ka
Dikisahkanlah tentang dua orang abdi yang setia

da ta sa wa la
Keduanya terlibat perselisihan dan akhirnya berkelahi

pa da ja ya nya
Mereka sama-sama kuat dan tangguh

ma ga ba tha nga
Akhirnya kedua abdi itu pun tewas bersama


Aksara Jawa ha-na-ca-ra-ka mewakili spiritualitas orang Jawa yang terdalam: yaitu kerinduannya akan harmoni dan ketakutannya akan segala sesuatu yang dapat memecah-belah harmoni. Konon aksara Jawa ini diciptakan oleh Ajisaka untuk mengenang kedua abdinya yang setia.

Dikisahkan Ajisaka hendak pergi mengembara, dan ia berpesan pada seorang abdinya yang setia agar menjaga keris pusakanya dan mewanti-wanti: janganlah memberikan keris itu pada orang lain, kecuali dirinya sendiri: Ajisaka. Setelah sekian lama mengembara, di negeri perantauan, Ajisaka teringat akan pusaka yang ia tinggalkan di tanah kelahirannya. Maka ia pun mengutus seorang abdinya yang lain, yang juga setia, agar dia pulang dan mengambil keris pusaka itu di tanah leluhur. Kepada abdi yang setia ini dia mewanti-wanti: jangan sekali-kali kembali ke hadapannya kecuali membawa keris pusakanya.

Ironisnya, kedua abdi yang sama-sama setia dan militan itu, akhirnya harus berkelahi dan tewas bersama: hanya karena tidak ada dialog di antara mereka. Bukankah sebenarnya keduanya mengemban misi yang sama: yaitu memegang teguh amanat junjungannya? Dan lebih ironis lagi, kisah tragis tentang dua abdi yang setia ini selalu berulang dari jaman ke jaman, bahkan dari generasi ke generasi.

Monday, August 06, 2007

Dhemitology, Atawa: The Science of Dhemit in Java

Di kalangan masyarakat Jawa dikenal berbagai macam makhluk halus, yang masing-masing memiliki ciri yang khas dan karakter yang berbeda-beda. Mereka diyakini berasal dari manusia yang kandheg lakunya, yaitu: terhenti perjalanan spiritualnya untuk kembali kepada Gusti Kang Murbeng Dumadi. (Namun perlu dicatat, ada juga makhluk halus yang dipercaya memang sudah diciptakan demikian dari sono-nya: seperti setan, yang diciptakan dari anasir nafsu amarah, atau jin dan peri yang diciptakan dari anasir nafsu supiyah).

Saya sendiri bukan seorang paranormal dan tidak memiliki kemampuan untuk melihat hantu atau hal-hal semacam itu. Dan meskipun spiritualitas sebenarnya bukanlah persoalan tentang hantu, dalam literatur-literatur kebatinan Jawa, soal hantu ini dibahas juga. Bukan persoalan klenik yang menjadi titik beratnya, namun pelajaran spitiual yang bisa diambil daripadanya: bahwa tujuan akhir perjalanan spiritual adalah kembali kepada Sang Khalik.

Dalam pandangan kebatinan Jawa, dikatakan bahwa manusia memiliki kelima anasir: badan jasmani, nafsu mutmainah, nafsu amarah, nafsu supiyah, dan angen-angen atau akal budi. Badan jasmani sendiri diliputi nafsunya sendiri, yaitu nafsu luamah.

Seluruh nafsu tersebut memilki badan juga, yang bersifat halus. Dan di antara badan kasar dan badan halus tersebut terdapat semacam 'separasi' yang tidak terhingga jumlahnya, yaitu badan-badan yang bersifat semi-halus, dan dimensinya masih dekat dengan dimensi kita. Mungkin itulah sebabnya mengapa ada orang yang bisa melihat hantu. Makhluk-makhluk halus ini tergolong tingkat rendahan, dan mereka selalu memiliki kadar nafsu luamah (nafsu jasmani) yang tinggi, yang berpadu dengan nafsu-nafsu lainnya. Paduan nafsu luamah dengan nafsu-nafsu lainnya tersebut menciptakan berbagai macam varian makhluk halus yang tidak terbilang banyaknya: dhemit, hantu, banaspati, wewe, cepet, lampor, thethekan, bajag angkrik, nyai blorong, keblek, janggitan, ilu-ilu....

Walahuallam.

Air Kata-Kata: Sebuah Samudera yang Luas

*****************************************************************
Advertorial: Pengguna Internet Dibayar dari AGLOCO.COM.
Daftar gratis di sini www.agloco.com/r/BBGM0279
*****************************************************************


Dalam literatur Jawa tentang spiritualitas dikatakan bahwa Rasajati (inti terdalam manusia, kebenaran yang tertinggi) adalah Rasa yang paling halus, dan karenanya paling luas, dan Ia mencakup semua tingkatan rahsa yang berada di bawahnya. Makin halus rasa seseorang dia akan makin momot, makin luas ruang hatinya, bagai samodera raya yang dapat menampung ribuan sungai yang mengalir kepadanya tanpa menjadi penuh maupun kotor. Maka Rasajati, rasa yang paling halus dari semua rahsa itu, dapat momot (memuat) semua rahsa: dari yang paling kasar hingga yang paling halus, dari alam bekasakan (alam neraka yang paling bawah) hingga alam kaswargan luhur (alam surga yang tertinggi).

Buku 'Air Kata-kata' yang ditulis oleh Romo Sindhunata (diterbitkan oleh Galang Press dan Bayu Media, tahun 2003) menurut saya sangat menarik. Buku ini ditulis oleh seorang pastur, namun di dalamnya tidak hanya terdapat doa-doa yang 'suci' dan sakral, tapi bahkan juga terdapat makian dan umpatan, dalam 'Kutukan Asu' (Jw.: anjing) misalnya:

Aku ini bukan binatang jalang
Aku hanya khewan omahan
Aku ini asu. Asu, Su!
(Hal. 64)

Di dalam buku ini Romo Sindhu mengungkapkan hal-hal apa saja: dari hal-hal yang paling kasar hingga yang paling halus, dari yang profan hingga yang spiritual...dari kisah tentang seorang guru yang mendem ciu hingga Ave Maria. Begitulah dikisahkan seorang guru yang karena kesulitan ekonomi melarikan diri dari realitas kehidupan dan minum ciu (sejenis arak) hingga mabuk dan 'melayang-layang', maka dia pun dikejar-kejar polisi... namun karena nasibnya lagi apes, saat lari ketakutan dia malah nubruk polisi yang mau menangkapnya:

Aku mlayu sandalku kari
Kesusu malah nubruk Pulisi
Aku kaget setengah mati
Pulisine malah tak rangkuli
(Hal. 15)

Di dalamnya kita juga dapat menemukan mantra-mantra suci, kawruh-kawruh kebatinan Jawa yang adiluhur, tentang ngelmu pring (ilmu bambu) misalnya, yang mengajak kita untuk belajar dari kelenturan, kerendahan hati dan 'kekosongan' yang dimiliki sebatang bambu:

Pring iku mung suket
ning gunane akeh banget
Yaiku jenenge ngelmu pring
dadia kaya pring
prasojo ora duwe apa-apa
ning merga ora duwe apa-apa
bakal bisa dadi apa-apa
kaya pring
(Hal. 44)

Yang menarik dari buku ini menurut saya adalah: keluasan isinya, bagai samodera yang dapat menampung apa saja yang masuk ke dalamnya, baik yang kasar maupun yang halus, yang 'neraka' maupun yang 'surga'... semua ia rangkul dengan kasih yang tidak membedakan. Bukankah demikian juga Tuhan mengasihi kita? Sebab Ia "...menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar." (Matius 5:45).

Salam,
www.catatanrenungan.blogspot.com