Friday, September 22, 2006

Gerhana dan Bathara Kala


Gerhana dan Bathara Kala


Beberapa waktu yang lalu terjadi gerhana bulan. Kira-kira tengah malam waktunya. Di kampung saya, orang rame-rame memukul kentongan. Mula-mula dari kejauhan terdengar sayup-sayup satu-dua kentongan yang dipukul, makin lama suara kentongan makin rame. Seorang peronda di pos gardu di dekat rumah saya pun tak mau ketinggalan, ia mengambil kentongan bambu dan memukulnya bertalu-talu.

Begitulah kepercayaan masayarakat Jawa: setiap terjadi gerhana, orang rame-rame memukul kentongan. Di kampung-kampung yang masih kuat tradisi Jawanya mereka bukan sekedar memukul kentongan, tapi juga membangunkan ayam-ayam dan ternak yang sedang tidur. Dan yang paling penting: wanita-wanita yang tengah hamil, harus dibangunkan dan mandi... meski di tengah malam yang dingin. Agar anak yang dikandungnya tidak menjadi mangsa Bathara Kala.

Konon ketika terjadi gerhana, baik itu gerhana bulan atau matahari, saat itu Bathara Kala sedang berusaha menelan rembulan atau matahari, dan orang harus rame-rame memukul kentongan agar Bathara Kala mengurungkan niatnya.

Bathara Kala adalah personafikasi dari kekuatan jahat. Dalam cerita wayang kulit ia dikisahkan sebagai anak Bathara Guru yang salah kedaden: ia berasal dari sotya (sperma) Bathara Guru yang jatuh ke atas samodera saat raja para dewa itu tak dapat menahan nafsunya ketika sedang bercengkerama dengan istrinya, Dewi Uma, di atas lembu suci yang keramat, yaitu Lembu Andini.

Boleh dibilang Bathara Kala adalah nafsu angkara murka yang tak terkendali... dan Bathara Kala ini, sang angkara murka, bisa menelan 'rembulan' dan 'matahari', yaitu hati dan pikiran yang terang. Dan satu-satunya cara untuk terlepas dari cengkeraman Bathara Kala adalah proses penyadaran, yaitu pencerahan hati dan pikiran... maka dipukullah kentongan berame-rame, ayam-ayam dan ternak yang tidur harus dibangunkan, wanita-wanita hamil harus mandi. Kesadaran spiritual dibangkitkan, jiwa dan badan harus dibersihkan... agar rembulan dan matahari tidak ditelan oleh Bathara Kala.

Walahualam.

Friday, September 15, 2006

Bowo Caping Gunung


The Interpretation of Bowo Caping Gunung


Saben bengi nyawang konang
Yen memajang mung karo janur kuning
(tak kudange anake)
Kembang wae weton nggunung
Pacitan sarwi jenang
Panas udan,
(cendhek lemu, dhuwur lemu, wong saomah lemu kabeh)
Panas udan aling-aling caping nggunung
(misowa, caping nggunung, alah yo mas)
Nadyan wadon sarta lanang
Inumane banyu bening

Langgam Caping Gunung yang diciptakan oleh sang maestro keroncong Gesang ini, konon berkisah tentang seorang pejuang yang dalam masa kesusahan ditolong oleh orang-orang kampung di sebuah wilayah pegunungan, dengan harapan kelak pada jaman merdeka, orang-orang kampung itu akan ikut serta menikmati kemakmuran. Tapi setelah negara merdeka, si pejuang (yang mungkin sudah jadi 'orang' tersebut) lupa pada janji-janjinya dan menikmati hidup enak sendiri. Mungkin itu juga kritik untuk menyindir pejabat-pejabat di Indonesia yang ketika hidup susah begitu dekat dengan rakyat, namun setelah jadi orang dan hidup enak masa bodoh dengan kepentingan rakyat.

Bowo Caping Gunung ini mengungkapkan kerinduan akan kehidupan di alam pegunungan yang masih sederhana, lugu dan alami, ketika kita masih dapat melihat keajaiban dalam hal-hal kecil:

Saben bengi nyawang konang, setiap malam melihat kunang-kunang... bukankah semasa kecil kita begitu takjub melihat kunang-kunang? Makhluk kecil ajaib, yang bisa terbang dan memiliki lampu di ekornya!

Yen memajang mung karo janur kuning, jika berhias cukup dengan menggunakan janur kuning. Janur memliki keindahan yang alami... di Bali dapat dijumpai orang-orang yang tiap hari merangkai janur.

Kembang wae weton nggunung, sekumtum bunga yang tumbuh di tanah pegunungan. Dalam literatur Jawa, gunung (parahyangan) identik dengan tempat para dewa, tempat roh-roh suci bersemayam. Gunung juga melambangkan kesadaran dan spiritualitas yang tinggi: banyak padepokan atau pertapaan yang didirikan di puncak gunung.

Pacitan sarwi jenang, mungkin ini sekedar sampiran saja, agar bersajak dengan baris berikutnya.

Panas udan... baik musim panas maupun hujan

Cendhek lemu, dhuwur lemu, wong saomah lemu kabeh... yang pendek gemuk, yang tinggi pun gemuk, orang serumah gemuk semua... Gemuk melambangkan kehidupan yang tenteram.

Panas udan aling-aling caping nggunung, baik musim panas maupun hujan, berlindung di bawah caping, topi lebar dari anyaman bambu yang biasa dipakai para petani.

Misowa, caping nggunung, alah yo mas... kata-kata ini tidak memiliki arti, sekedar menampilkan kesederhanaan yang harmonis.

Najan wadon sarta lanang, baik laki-laki maupun perempuan...

Inumane banyu bening, mereka minum dari sumber mata air di pegunungan yang jernih dan bening... yang mewakili kesadaran hati dan pikiran yang jernih.


Salam,

BERENANG DAN TAO

"Arrive without traveling, do all without doing, see all without looking."


Sekitar dua bulan terakhir ini saya punya hobi baru: belajar berenang. Awalnya sederhana: suatu sore saya mancing bersama kawan-kawan di sungai. Melihat air sungai yang jernih saya tak tahan untuk nyemplung dan berendam di dalamnya. Dua orang kawan saya tadi, keduanya masih sangat remaja, meminta saya berenang. Saya tidak bisa berenang. Lalu mereka mengajari saya: renang gaya sungai. Dari pengalaman itulah saya mengambil keputusan untuk belajar berenang di kolam renang sungguhan. Karena ternyata berenang itu sangat menyenangkan.

Pertama kali masuk kolam renang, saya takut sekali dengan air. Saya berusaha keras untuk tidak tenggelam. Saya gerakkan tangan dan kaki secepat mungkin, tapi karena ketakutan gerakan saya kacau balau, nafas ngos-ngosan, dan akhirnya tubuh saya tenggelam. Saya berusaha makin keras lagi. Dan makin keras saya berusaha... makin saya tenggelam.

Seorang instruktur renang pernah mengatakan pada saya, "Jangan melawan air. Menyatulah dengan air." Benar. Makin kuat kita melawan air, makin kuat pula air melawan kita. Saat kita rileks, tenang dan menyatu dengan air, tubuh kita akan mengambang dengan sendirinya.

Begitulah pelajaran berharga yang saya dalami sambil berenang: Berhentilah melawan, rangkullah dengan ikhlas. Maka Anda akan menang tanpa berusaha. Inilah esensi ajaran Tao: berhasil 'tanpa berusaha'. Saat kita berusaha terlalu keras, kita justru akan mendapat hasil yang sebaliknya. Saat kita rileks, dan membiarkannya mengalir dengan sendirinya... voila: tahu-tahu kita telah menyelesaikannya.

Maka semua karya yang hebat, entah itu di bidang musik, puisi, maupun ilmu pengetahuan, justru dihasilkan saat pikiran dalam kondisi yang rileks. Konon Albert Einstein menemukan teori relativitasnya ketika sedang duduk melamun di dalam perjalanan dengan kereta api. Seorang penyair ketiduran di bawah pohon saat sedang asyik mendengarkan kicauan burung, begitu terbangun dia menulis sebuah puisi begitu saja dan menjadi mahakarya: Ode to Nightingales. Energi kreatif justru mencapai puncaknya saat pikiran rileks.

Konon, kelabang yang berkaki seribu, dulu pandai sekali menari. Dia dapat menggerakkan seribu kakinya dengan lincahnya. Sayang, ada makhluk lain yang iri: si Belalang Sirik. Maka diapun mencari cara, bagaimana agar si Kelabang tak bisa menari lagi. Maka dengan licik ditulislah sepucuk surat pada kelabang:

"Tn. Kelabang yang baik,
Saya sungguh mengagumi tarian Anda. Bisakah Anda menjelaskan bagaimana Anda menari? Apakah Anda mengangkat kaki Anda yang nomer 147 kemudian kaki nomer 92, lalu menurunkan kaki nomer 64?"

Maka si Kelabang pun mulai memikirkan bagaimana ia menari: makin keras ia memikirkannya, makin sulit ia menari. Dan konon, setelah itu ia tidak pernah menari lagi.

Benang merahnya adalah: jangan berusaha terlalu keras. Rileks, dan biarkan semua mengalir dengan sendirinya. Biarlah Yang Alami menyelesaikan segala sesuatunya. Sehingga bersama The Beatles kita pun dapat berdendang:

"Arrive without traveling, do all without doing, see all without looking...."

BTW, kini saya sudah bisa menguasai gaya katak.


Salam everyone,

Harmoni dan Keselamatan

Dhandhanggula
Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luput ing lelara
Luputing bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Mungguh penggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan wani marak ing mami
Tujuh guna pan sirna



Kidung adalah manifestasi dari harmoni. Bagi orang Jawa harmoni adalah penjaga keselamatan: ana kidung rumeksa ing wengi... terdapat sebuah kidung (harmoni semesta raya) yang menjaga kehidupan. Inti budaya Jawa adalah harmoni. Di dalam harmoni-lah ditemukan keselamatan. Jika harmoni ini terganggu, akan timbul bencana atau sengkala.

Semua ritual dalam tradisi Jawa didasarkan pada prinsip ini: untuk menjaga atau memulihkan harmoni. Misalnya: slametan, atau kenduri. Dengan kenduri orang sekampung berkumpul dan berbagi makanan dari ambeng yang sama: sehingga hubungan baik antar sesama dipulihkan dan harmoni kembali ditegakkan. Ketika ada seorang yang sakit misalnya, bagi mereka yang masih menjalankan tradisi ini, akan mengadakan slametan, dengan dipulihkannya hubungan baik dengan orang-orang di sekitarnya, diharapkan si sakit dapat sembuh kembali.

Ilmu kedokteran modern pun meyakini bahwa hubungan (relationship) yang sehat dan hormonis dengan orang-orang di sekitar kita sangat besar dampaknya pada kesehatan kita. Orang-orang yang hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya tidak harmonis, selalu diwarnai percekcokan dan perang urat-saraf akan rentan dengan penyakit stres dan serangan jantung. Orang Jawa telah menyadari hal ini jauh hari sebelumnya, dengan ritual kenduri mereka mengharapkan pemulihan hubungan yang harmonis dan sehat dengan para tetangga.

Orang Jawa bukan saja meyakini adanya alam yang kelihatan tapi juga alam yang tidak kelihatan, yang tidak kasat mata. Dan hubungan yang harmoni dengan alam yang tidak kasat mata itupun harus dijaga: maka diberikanlah sesaji di tempat-tempat keramat. Mereka tidak bermaksud menyembah roh-roh gaib itu tapi sekedar menjaga harmoni dengan mereka.

Demikian juga harmoni dengan alam: dengan sawah ladang, pepohonan, hewan-hewan piaraan. Pada keluarga-keluarga tertentu yang masih sangat kuat tradisi Jawanya, mereka akan mengadakan slametan bukan saja dalam setiap momen kehidupan seperti kelahiran, sunatan, mantenan, atau kematian tapi juga dalam momen-momen yang penting dalam hubungan manusia dengan alam: seperti saat panen, atau ketika sapi mereka beranak... setiap momen adalah anugerah dan layak disyukuri.


Salam,

Saturday, September 02, 2006

Ilmu Jagong

Jagong adalah menghadiri acara hajatan yang biasa ada di desa: seperti sunatan, mantenan, dan kelahiran bayi. Jagong sangat penting untuk membina hubungan baik dengan orang-orang di sekitar kita: dan saya yakin jagong itu sehat untuk jasmani maupun rohani kita. Sehat secara jasmani: karena kita akan mendapat suguhan: teh panas, emping, juadah, lemper, dan kari ayam. Sehat secara rohani: karena kita bisa ngumpul dengan kawan-kawan dan tertawa bersama.

Apakah seseorang akan disukai oleh masyarakat di sekitarnya atau tidak: akan nampak saat seseorang itu punya hajatan. Orang yang kurang ramah di kampungnya, angkuh dan sombong, saat punya hajatan biasanya rumahnya sepi pengunjung. Sebaliknya orang yang ramah dan memiliki perhatian pada kepentingan umum, saat dia punya hajatan, orang-orang dengan senang hati akan datang ke rumahnya dan meramaikan acara hajatannya.

Pernah di kampung saya, seseorang yang kaya raya dan 'terpandang' di desa, tapi saat mantu, pada malem midodareni, yaitu malam menjelang resepsi pernikahan, ternyata rumahnya sepi karena tidak ada orang yang jagong. Sedangkan seorang tetangga saya yang lain, meskipun ekonominya pas-pasan, tapi karena kesupelannya dalam bergaul, dan kepeduliannya pada kepentingan umum, tamunya membludak saat ia mengkhitankan anaknya. Begitulah, jagong selalu dapat dijadikan tolok ukur: siapa yang diterima masyarakat dan siapa yang tidak.

Sedangkan bagi mereka yang hendak jagong, penting sekali untuk menguasai ilmu jagong. Ilmu jagong ini begitu penting sehingga harus diajarkan oleh Yesus sendiri... Seorang guru besar memang tidak harus selalu mengajarkan hal-hal yang besar dan muluk-muluk, tapi kadang hal-hal yang sangat sederhana dan basic: seperti jagong. Yesus berkata,

"Kalau seorang mengundang engkau ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan, sebab mungkin orang itu telah mengundang seorang yang lebih terhormat dari padamu, supaya orang itu, yang mengundang engkau dan dia, jangan datang dan berkata kepadamu: Berilah tempat ini kepada orang itu. Lalu engkau dengan malu harus pergi duduk di tempat yang paling rendah. Tetapi, apabila engkau diundang, pergilah duduk di tempat yang paling rendah. Mungkin tuan rumah akan datang dan berkata kepadamu: Sahabat, silakan duduk di depan. Dan dengan demikian engkau akan menerima hormat di depan mata semua tamu yang lain. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan." (Lukas 14: 8-11).

Nah, selamat jagong!

Rama Bargawa dan Bencana Spiritual

Essay ini didedikasikan untuk mBah Dul di Yogyakarta yang terkena musibah gempa bumi.
Setiap kali terjadi bencana alam: entah itu gempa bumi atau tsunami, banjir bandang atau gunung meletus, media-media seperti televisi dan surat kabar akan ramai membicarakannya, tapi ketika terjadi bencana spiritual: hancurnya nilai-nilai moral dan kemanusiaan, tidak pernah terdengar orang ramai membicarakannya.
Lakon wayang kulit Rama Bargawa adalah salah satu lakon yang paling berkesan di benak saya: saya menonton pagelaran lakon ini sudah sekitar 10 tahun yang lalu, dan dalangnya adalah Ki Purbo Asmoro yang sangat menguasai seni filsafat dan sastra dalam wayang kulit. Alkisah, kerajaan di mana Rama Bargawa bekerja sebagai penegak hukum mengalami krisis moral: sang raja asyik bertapa di gunung dan gua-gua untuk mencari 'ilmu', sementara sang permaisuri karena kesepian mencari kepuasan dari prajurit-prajurit kerajaan yang perkasa. Maka lengkaplah sudah kerusakan kerajaan tersebut: ekonomi dan politik tidak tertata, sementara sang permaisuri hanyalah seorang tukang selingkuh. Ironisnya: sang raja dan permaisuri dalam kerajaan tersebut adalah ayah dan ibu kandung Rama Bargawa sendiri.
Rama Bargawa sebagai seorang pembela kebenaran tentu merasa sangat terpukul menyaksikan kondisi di sekitarnya: lebih celaka lagi sang raja, yaitu ayah kandungnya, memintanya untuk menghukum mati ibunya sendiri sebagai hukuman atas pelangaran moral yang beliau lakukan: yaitu berselingkuh. Rama Bargawa menghadapi dilema moral yang sangat berat: di satu sisi, sebagai hakim di negeri tersebut dia harus menghukum siapapun yang bersalah: dalam hal ini dia harus menghukum m

The Psycho-Therapy of Dagelan


Kedudukan dagelan dalam seni pertunjukan masyarakat Jawa sangatlah vital. Dalam setiap seni pertunjukan yang dikenal masyarakat Jawa, entah itu kethoprak, ludruk, wayang kulit, wayang wong, selalu terdapat porsi tersendiri yang khusus disediakan untuk dagelan. Dagelan adalah semacam komedi tradisional dengan citarasa yang sangat Jawa. Bahkan dagelan bisa menjadi seni pertunjukan yang berdiri sendiri: seperti Kirun Cs, dan di masa lalu terdapat dagelan yang sangat legendaris: Basiyo dkk, juga terdapat lawakan Junaidi Cs, dan di Jawa Timur terdapat sang maestro ludruk Kartolo dkk.

Dagelan menjadi begitu penting karena dagelan dapat menjadi katup pelepas uneg-uneg dan ketegangan yang tersimpan di alam bawah sadar. Meminjam psikologi Freud, segala sesuatu yang ditekan ke dalam alam bawah sadar akan menimbulkan ketegangan syaraf, karena apa yang ditekan tadi akan terus-menerus berusaha muncul ke dalam pikiran sadar dan minta diakui keberadaannya. Namun karena tuntutan tata-krama sosial, apalagi dalam budaya Jawa yang sangat ketat dalam hal unggah-ungguh, sopan santun dan etika, dorongan-dorongan bawah sadar tersebut tidak bisa dilampiaskan begitu saja... dan di dalam dagelan semua itu menemukan bentuk ekspresinya yang lucu dan artistik, dan yang lebih penting lagi diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang umum. Kata 'umum' ini penting sekali dalam budaya Jawa, sebab setiap orang dalam masyarakat Jawa akan menghindari sesuatu yang 'tidak umum', dan akan selalu berusaha mengikuti norma dan peraturan yang dianggap 'umum'. Tidak umum berarti identik dengan nyeleneh, eksentrik, atau bahkan tidak normal.

Namun di dalam dagelan, semua yang tidak umum, tidak normal, eksentrik dan nyeleneh dimungkinkan dan diperbolehkan untuk terjadi. Di dalam dagelan ide-ide baru, segar dan kreatif bisa saja dimunculkan dan diketemukan. Di dalam dagelan orang boleh menemukan pelampiasan yang artistik segala sesuatu yang menjadi uneg-uneg di dalam alam bawah sadarnya: di dalam dagelan orang boleh menertawakan kemiskinan, melihat dan menertawakan kebodohannya sendiri... dan disembuhkan dari luka-luka batinnya. Bagaimanapun juga tawa tetap menjadi obat yang paling mujarab.

Yu Painten kleleken timba,
cekap semanten kidungan kula.

Anton Chekov dan Kartolo

Baik Anton Chekov maupun Kartolo sama-sama mengajak kita untuk menertawakan panggung sandiwara kehidupan. Bedanya adalah: jika Chekov mengajak kita tertawa dengan terlalu serius, dengan hati yang getir, Kartolo mengajak kita untuk tertawa lebar, kalau perlu sampai terbahak-bahak. Karena dia memang seorang pelawak. Dia adalah seorang maestro ludruk dari Jawa Timur yang kaset-kaset ludruknya masih digemari banyak orang hingga saat ini.

Baik Chekov maupun Kartolo mengajak kita untuk melihat kehidupan sebagai sebuah panggung sandiwara. Dalam sebuah lakon ludruknya misalnya dikisahkan Dalang Kartolo mendapat tanggapan untuk mayang di rumah Sapari yang sedang punya gawe. Tapi ia lupa membawa kotak wayang, yang ia bawa justru kotak tukang. Maka terpaksa pertunjukan wayang kulit pun diubah menjadi wayang orang, dan tak ketinggalan Sapari, si pemilik rumah, pun diminta untuk jadi wayang...

Lakon ludruk Kartolo di atas mengingatkan saya pada pandangan Jean Paul Sartre yang mengatakan bahwa manusia ibarat terlempar ke atas panggung sandiwara kehidupan, tanpa tahu peran apa yang harus ia mainkan! Menurut Sartre, manusia tidak memiliki esensi bawaan dari 'sononya'. Dia harus menentukan sendiri peran itu baginya. Dan ironisnya, ia seringkali gagal menjalankan peran yang ia pilih sendiri. Begitulah menurut Sartre: manusia dikutuk untuk bebas! Karya-karya Sartre pun lucu, namun juga getir...

Namun mungkin sudah menjadi pembawaan orang Eropa untuk menjadi terlalu serius dalam hal apa saja, bahkan dalam hal tertawa pun mereka terlalu serius. Lihatlah cerpen-cerpen Anton Chekov: betapa getir dan nyinyir nasib manusia.... Lain halnya dengan Kartolo, mungkin unsur 'getir' itu tetap ada juga dalam lakon-lakon ludruknya, bedanya adalah: Haji Kartolo tetap dapat mengajak kita untuk tertawa lebar: tanpa perasaan getir yang terlalu serius. Toh semuanya ini hanya sendau gurau dan permainan.

Uwur-uwur kodhok segara
Montor mabur kok numpak dara
Sukur-sukur urip ndhek alam donya
Jok susah ngukur dalan nang swarga
Ngguyua ae mbarek Kartolo
Sukur nimba kecemplung sumur
Urip sukur gak kejegur-jegur

Eufemisme dan Werkudoro





Werkudoro adalah sosok pahlawan dalam dunia wayang kulit yang aneh: ia tidak memiliki postur tubuh seorang ksatria pada umumnya, seperti postur tubuh Harjuna misalnya, tapi berpostur tubuh raksasa: tinggi besar, dengan suara menggelegar. Yang juga menarik dari watak Werkudoro adalah: dia tidak bisa menggunakan bahasa Jawa yang halus, yang sangat ketat dalam hal tata krama dan unggah-ungguh. Dia hanya bisa menggunakan bahasa Jawa ngoko, yaitu bahasa Jawa kasar, bahasa Jawa dari tingkatannya yang paling rendah. Tapi Werkudoro inilah, yang tidak pandai menggunakan bahasa dengan halus, yang menjadi pralambang kejujuran dalam dunia wayang kulit. Dia adalah sosok yang jujur dan satu-satunya tokoh wayang yang dikisahkan berani menyelami Samodera Minang Kalbu sampai ke dasarnya, dan bertemu dengan Guru Sucinya yaitu, Sang Hyang Dewa Ruci.

Yang menarik untuk diamati dari sosok Werkudoro ini adalah: nampaknya ada kontradiksi antara penggunaan bahasa yang halus dan lembut di satu sisi, dan kejujuran yang lugas di sisi lain. Dus, bahasa mungkin bisa digunakan sebagai alat untuk berbohong, baik membohongi diri sendiri maupun membohongi publik.

Dalam ilmu bahasa misalnya, dikenal gaya bahasa eufemisme: yaitu gaya bahasa untuk mengungkapkan sesuatu dengan cara yang lebih halus, sehingga tidak terdengar kasar atau jorok. Ketika seseorang mau ke WC misalnya, akan dianggap lebih sopan jika dia berkata, "Saya mau ke kamar kecil." Bahasa Indonesia, sebagaimana bahasa Jawa, adalah bahasa yang kaya dengan eufemisme semacam ini. Di masa lalu istilah pelacur dianggap terlalu kasar, sehingga disebut wanita tuna susila, gelandangan lebih 'terhormat' jika disebut tunawisma, dan orang yang kerjanya cuma luntang-lantung karena tidak punya pekerjaan disebut tunakarya. Begitulah dengan eufemisme, sesuatu yang sebenarnya kurang baik, bisa terdengar lebih sopan. Mungkin ini akan berguna dalam berinteraksi dengan orang lain: agar kita tidak menyinggung perasaannya.

Namun celakanya eufemisme ini bisa juga menjadi alat tipu-diri yang ampuh. Berikut ini adalah contoh yang saya amati dalam pemakaian bahasa Jawa sehari-hari: acara main (judi) di tempat orang punya gawe, misalnya, disebut sebagai tirakatan. Ketika anak-anak muda bergerombol dan mau cari minuman keras, mereka menyebutnya golek anget-anget. Ketika kita mau utang duit, kita malu menyebutnya utang, tapi nyrempet. Ketika seorang anak bodoh di sekolah, dia disebut kendho. Ketika ada seorang pejabat desa yang mabuk dan melakukan hal-hal yang tidak senonoh, dia dikatakan lagi kurang penak awake. Ketika seorang istri yang sudah setengah umur dan mengajak seorang anak muda untuk berselingkuh, dia bilang: kanggo jamu.... Sedangkan di Solo ada juga sate jamu, yaitu rica-rica daging anjing.

Saya juga pernah mendengar seorang guru yang berkata: kalau guru di Indonesia itu telah dibohongi, mereka diberi gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Gelar yang sangat angker dan serem, tapi jika kesejahteraan tidak dipikirkan, apa disuruh makan gelar? Begitulah dia misuh-misuh.

Ketika penggunaan bahasa telah menjadi sedemikian manipulatif-nya, mungkin kita perlu ingat sosok Arya Bima Sena atau Werkudoro yang tidak pandai menggunakan bahasa yang lembut dan halus, yang kata-katanya langsung dan lugas, tanpa tedeng aling-aling. Memang kata-kata yang langsung dan lugas bisa jadi menyakitkan, sama menyakitkannya ketika mencabut sebutir peluru yang sudah terlanjur bersarang dalam tubuh... tapi bagaimanapun, itu jauh lebih baik daripada membiarkan peluru itu bersarang di sana.

Sudahkah kita menggunakan bahasa dengan 'baik' dan 'benar'?