Friday, September 15, 2006

Bowo Caping Gunung


The Interpretation of Bowo Caping Gunung


Saben bengi nyawang konang
Yen memajang mung karo janur kuning
(tak kudange anake)
Kembang wae weton nggunung
Pacitan sarwi jenang
Panas udan,
(cendhek lemu, dhuwur lemu, wong saomah lemu kabeh)
Panas udan aling-aling caping nggunung
(misowa, caping nggunung, alah yo mas)
Nadyan wadon sarta lanang
Inumane banyu bening

Langgam Caping Gunung yang diciptakan oleh sang maestro keroncong Gesang ini, konon berkisah tentang seorang pejuang yang dalam masa kesusahan ditolong oleh orang-orang kampung di sebuah wilayah pegunungan, dengan harapan kelak pada jaman merdeka, orang-orang kampung itu akan ikut serta menikmati kemakmuran. Tapi setelah negara merdeka, si pejuang (yang mungkin sudah jadi 'orang' tersebut) lupa pada janji-janjinya dan menikmati hidup enak sendiri. Mungkin itu juga kritik untuk menyindir pejabat-pejabat di Indonesia yang ketika hidup susah begitu dekat dengan rakyat, namun setelah jadi orang dan hidup enak masa bodoh dengan kepentingan rakyat.

Bowo Caping Gunung ini mengungkapkan kerinduan akan kehidupan di alam pegunungan yang masih sederhana, lugu dan alami, ketika kita masih dapat melihat keajaiban dalam hal-hal kecil:

Saben bengi nyawang konang, setiap malam melihat kunang-kunang... bukankah semasa kecil kita begitu takjub melihat kunang-kunang? Makhluk kecil ajaib, yang bisa terbang dan memiliki lampu di ekornya!

Yen memajang mung karo janur kuning, jika berhias cukup dengan menggunakan janur kuning. Janur memliki keindahan yang alami... di Bali dapat dijumpai orang-orang yang tiap hari merangkai janur.

Kembang wae weton nggunung, sekumtum bunga yang tumbuh di tanah pegunungan. Dalam literatur Jawa, gunung (parahyangan) identik dengan tempat para dewa, tempat roh-roh suci bersemayam. Gunung juga melambangkan kesadaran dan spiritualitas yang tinggi: banyak padepokan atau pertapaan yang didirikan di puncak gunung.

Pacitan sarwi jenang, mungkin ini sekedar sampiran saja, agar bersajak dengan baris berikutnya.

Panas udan... baik musim panas maupun hujan

Cendhek lemu, dhuwur lemu, wong saomah lemu kabeh... yang pendek gemuk, yang tinggi pun gemuk, orang serumah gemuk semua... Gemuk melambangkan kehidupan yang tenteram.

Panas udan aling-aling caping nggunung, baik musim panas maupun hujan, berlindung di bawah caping, topi lebar dari anyaman bambu yang biasa dipakai para petani.

Misowa, caping nggunung, alah yo mas... kata-kata ini tidak memiliki arti, sekedar menampilkan kesederhanaan yang harmonis.

Najan wadon sarta lanang, baik laki-laki maupun perempuan...

Inumane banyu bening, mereka minum dari sumber mata air di pegunungan yang jernih dan bening... yang mewakili kesadaran hati dan pikiran yang jernih.


Salam,

3 Comments:

Blogger Unknown said...

Niku potone teng waduk mbade nggeh... koyo mboten asing kulo kaleh potone

12:40 PM  
Blogger Unknown said...

Bagi gue lagu ini sangat berarti dalam kehidupan gue...yang mana gue sendiri dulu lahir didesa yang penuh dengan keterbatasan yang sekarang gue udah hidup dikota dengan segala fasilitas apapun ada tetapi gue sendiri selalu kangen dengan desa dimana gue dilahirkan...gue sendiri akan bekerja sesuai kemampuan gue demi desa yang pernah gue tinggal menjadi lebih maju dan tidak ketinggalan dengan desa tetangga..Amin.

3:34 AM  
Blogger Unknown said...

Dri gue Sentot Sumarjoko,S.IP Komplek Perumahan Kodamar TNI AL Kelapa Gading Jakarta Utara

3:37 AM  

Post a Comment

<< Home