Friday, March 23, 2007

T e t a n g g a

Hubungan dengan tetangga tidak selalu baik, itulah yang saya amati dalam kehidupan sehari-hari di sekitar saya. Ada tetangga bersebelahan rumah, yang rumahnya begitu dekat, hanya dipisahkan sejengkal tanah, namun hati keduanya begitu jauh, saling mengiri, saling membenci, saling ngrasani (membicarakan keburukan orang lain), dan saling mengumpat dalam hati... dan anehnya saling senyum jika berpapasan dan saling menyapa dengan kata-kata yang 'enak' dan ramah, kata-kata yang halus dan sopan. Saya jadi teringat apa yang dikatakan Anthony de Mello, bahwa kata-kata justru seringkali digunakan untuk menghindari komunikasi yang sebenarnya.

Tetangga-tetangga yang kaya, yang priyayi, yang berasal dari golongan atas, pandai sekali menggunakan kata-kata yang halus dan sopan seperti ini. Mereka mahir menggunakan bahasa Jawa kromo inggil (bahasa Jawa dari tatarannya yang paling tinggi). Sedangkan orang-orang kampung biasa, para petani, bakul-bakul di pasar biasanya kasar bahasanya... dan kalau bicara keras suaranya, jadi benar-benar terkesan kampungan. Tapi toh kata-kata yang halus dan sopan pada tetangga tidak selalu mencerminkan hubungan yang baik dengan tetangga tersebut. Dan orang-orang kampung yang 'kasar' cara bicaranya, belum tentu mencerminkan sikap dan hati yang kasar pula.

Seorang tetanggga di kampung saya, yang berada di ujung kampung, sehingga boleh dibilang rumahnya terpencil karena di sekitarnya hanya ada satu dua rumah, selebihnya adalah pepohonan, semak belukar dan anak sungai yang mengalir di belakang rumahnya, adalah seorang bakul jajanan di pasar, orang kampung biasa yang 'tidak terdidik'... kalau bicara kasar dan keras, tidak pandai berbasa-basi, bahkan kesan saya pertama adalah orang ini sungguh tidak tahu adab. Tepat di sebelah rumahnya adalah rumah kawan saya, teman yang saya ajak mancing hampir setiap hari. Setiap kali saya hendak mancing di sungai, saya selalu menghampiri kawan saya itu di rumahnya.

Kawan saya itu masih bujang, ia tinggal bersama ibu dan adiknya yang sudah berkeluarga. Suatu ketika keponakannya sakit, dan seluruh keluarganya menunggui keponakannya yang masih kecil dirawat di rumah sakit. Jadi kawan saya itu sendirian di rumah. Dan tetangganya yang kasar bicaranya, yang kalau bicara suaranya sungguh keras dan 'tidak tahu sopan santun' itulah... yang justru memberinya jatah makan setiap hari selama ibu dan adiknya berada di rumah sakit. Dia rutin mengirimnya sepiring nasi, semangkok sayur, dan sepotong dua potong lauk-pauk. Sedangkan tetangganya yang lain, seorang yang kaya, seorang priyayi, seorang yang halus dan sopan dalam bertutur kata... justru seolah tidak begitu mengenal dan dikenal oleh para tetangganya.

Bagaimanapun perintah yang paling sederhana ini tetaplah menjadi perintah yang paling utama: cintailah tetanggamu seperti mencintai dirimu sendiri.

'YOU SHALL LOVE YOUR NEIGHBOR AS YOURSELF.'
(Matthew 22:39, NASB)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home