Friday, March 23, 2007

Rumah yang Sempit Tapi Longgar

Orang bilang, karakter seseorang menentukan pekerjaannya. Ini benar sekali, seorang dokter bedah misalnya, haruslah orang yang berhati dingin, bayangkan jika seorang dokter bedah adalah seorang yang temperamental, emosional dan cenderung histeris... bisa jadi organ tubuh pasiennya yang ia operasi bukannya beres, malah amburadul. Seorang salesman biasanya adalah orang yang easy going, mudah bergaul dengan siapa saja, banyak omong, suka berteman, pintar menyajikan cerita-cerita lucu yang menyenangkan. Seorang dalang, cenderung mendalam dan spiritual, meyukai klenik dan hal-hal mistik.... Namun bagaimana dengan seorang tukang cukur? Seorang tukang cukur, atau seorang yang pandai mencukur rambut temannya dari pengamatan saya biasanya adalah seorang yang bersahaja, memiliki pandangan hidup yang begitu simple, menghargai hal-hal yang sederhana, rendah hati, suka melayani orang lain. Ya, seorang tukang cukur yang baik bukan saja dapat merapikan rambut kita, tapi juga membantu kita menata pikiran kita yang kusut di kepala, dengan sikapnya yang rendah hati dan cerita-ceritanya yang ringan dan menghibur.

Seorang tukang cukur langganan saya memiliki aura seperti itu. Dia seorang ayah muda yang belum lama hijrah ke kampung kami. Dia aslinya berasal dari Klaten, Jawa Tengah. Dan meski dia tergolong baru, pelanggannya sudah banyak sekali. Bahkan seringkali kami harus antri untuk mendapatkan layanannya. Dan saya lihat para pelanggannya bersedia antri tanpa mengeluh. Mereka memilih antri daripada pindah ke tempat tukang cukur yang lain. Pernah suatu ketika kami harus menunggunya karena dia sedang tahlilan di rumah tetangga, dan kami tetap sabar meski harus menunggunya cukup lama.

Apa sebabnya dia memiliki pelanggan yang begitu setia? Pertama, mungkin karena murah. Jika tukang cukur lainnya mematok harga sekitar Rp 3.000,- sampai Rp 4.000,-, tukang cukur yang satu ini tetap bertahan pada tarif Rp 2.000,- per kepala. Mungkin juga karena pekerjaannya memang rapi, meski modelnya begitu-begitu saja. Tapi janganlah kita membandingkan seorang tukang cukur kelas kampung dengan seorang Johny Andrean.

Tapi selain sebab-sebab di atas, saya yakin ada sebab yang lain, yaitu: karakternya. Dia seorang yang sungguh rendah hati, semanak, sikapnya pada orang lain sungguh baik, suka menyajikan cerita-cerita ringan yang menghibur, seorang ayah dan suami yang baik, rajin sholat dan hidup rukun dengan tetangganya. Dia juga memiliki memiliki perhatian yang tulus terhadap penampilan para pelanggannya. Saya sungguh menghargai pandangan hidupnya yang begitu sederhana dan sikapnya yang menghargai hal-hal yang sederhana: dia menanam anggur dan memelihara seekor dua ekor burung kicauan di depan rumahnya. Dia selalu dapat mengingatkan saya bahwa bagaimanapun life is simple and easy.

Dia tinggal di rumahnya yang sangat sempit bersama seorang anak dan istrinya. Rumah tersebut sungguh sempit, yang bahkan harus ia bagi lagi karena sebagian ia gunakan sebagai kios cukurnya. Jadi sebenarnya rumah tersebut hanya terdiri dari dua ruang utama: kios cukurnya dan kamar tidur. Dan lorong sempit di depan kamar tidur yang langsung menuju dapur. Di lorong sempit tersebut terdapat satu set pesawat televisi, galon air isi ulang, beberapa perkakas, dan satu dua kursi. Kesempitan akan lebih terasa lagi ketika sepeda motornya harus masuk ke dalam rumah. Tapi anehnya, meski sempit rumah tersebut terasa longgar. Dan meski saya tidak paham hal-hal supranatural atau hal hal hal gaib di luar sana, saya dapat merasakan rumah tersebut terasa sejuk dan dingin. Sementara saya juga tahu ada rumah lain, meski rumah tersebut besar dan luas, bahkan terdapat banyak kamar kosong yang tidak terpakai, rumah peninggalan orang tua tersebut terasa sempit dan panas, karena para penghuninya saling membenci, mendengki, saling curiga-mencurigai, bahkan saling siap melancarkan serangan dengan segala macam intrik dan cara... demi memperebutkan warisan tersebut.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home