Monday, March 26, 2007

Isi dari yang Kosong


Isi dari yang Kosong


Saya pernah mengunjungi sebuah rumah, bahkan sempat
tinggal beberapa hari di rumah tersebut, dan saya melihat
di dalam rumah tersebut hampir tak tersisa sedikitpun
ruang kosong. Di segenap sudut ruangan, di atas kulkas, di
atas lemari, di kolong tempat tidur, di rak-rak di bawah
meja, di sekitar komputer, bahkan di atas televisi, selalu
saja ada pernak-pernik barang yang ditaruh di situ: mainan
anak-anak, kertas-kertas, koran-koran dan majalah,
tas-tas, buku-buku, alat ini-itu, bunga-bungaan plastik,
kaset-kaset CD, selotip, toples segala bentuk dan ukuran,
kabel-kabel, tisu, makanan burung… rumah itu penuh sesak
dengan segala macam aneka barang. Hampir barang apapun
yang dapat kita bayangkan dapat kita temukan di sana.
Satu-satunya yang tak dapat aku temukan di dalam rumah
tersebut adalah: ruang atau space yang kosong. Rumah itu
jadi terasa sumpek karena penuh sesak dengan barang-barang
yang kebanyakan tidak terlalu kita butuhkan. Pelajaran
yang aku dapatkan dari sana adalah: betapa pentingnya
ruang kosong, bahwa di samping 'yang isi', kita juga
membutuhkan 'yang kosong'. Jika kita hanya menimbun ‘yang
isi’ dan melupakan perlunya ‘ruang kosong’, rumah kita
atau mungkin hidup kita akan terasa sumpek, ruwet dan
hanya akan jadi beban.

Karena itu di dalam Tao diajarkan tentang perlunya
Kekosongan. Cangkir dapat dipakai karena terdapat ruang
kosong di dalamnya, pintu dapat dilewati karena memiliki
celah yang kosong, dan pohon bambu memiliki begitu banyak
fungsi bahkan bisa dibentuk menjadi apa saja - hampir
semua peralatan rumah tangga dapat dibuat dari bambu -
karena bambu memiliki ruang kosong di dalamnya. “Isi
adalah kosong, kosong adalah isi,” begitu kata Bikshu
Thong dalam serial Kera Sakti.

Berlawanan dengan rumah yang saya ceritakan di atas, saya
teringat sebuah film yang pernah saya tonton, judulnya
Little Budha, berkisah tentang pencarian akan seorang anak
yang dipercaya sebagai titisan seorang lama dari Tibet.
Anak tersebut tinggal di dalam sebuah keluarga yang
modern, dengan bangunan rumah yang modern pula. Yang
menarik dari rumah tersebut adalah tatanan ruang tamunya:
kosong, tidak ada apa-apa di situ, kecuali sebuah meja
kecil di tengah ruangan. Bahkan tidak terdapat kursi-kursi
di ruang tamu, sehingga tamu-tamu yang datang harus duduk
lesehan mengitari meja kecil, seperti gaya rumah-rumah
klasik di Jepang. Si pemilik rumah dalam film tersebut
mengatakan bahwa dia suka dengan tatanan ruang seperti itu
justru karena kekosongannya: begitu simple dan lapang…
hanya yang basic saja, tanpa banyak aksesoris yang tidak
perlu.

Kenyataannya makin banyak aksesoris yang kita timbun, akan
makin ruwet jadinya. Konon, Socrates pernah mengajak
murid-muridnya berjalan-jalan di sebuah pasar. Mereka
berhenti di depan sebuah kios, dan Socrates memperhatikan
lama-lama barang-barang apa saja yang dipajang di kios
tersebut, kemudian dengan suara lantang dia berseru pada
murid-muridanya, “Betapa banyak barang yang tidak aku
perlukan!” Dari peristiwa tersebut, seorang muridnya,
Diogenes (yang kemudian dikenal sebagai filosof tong),
mengambil langkah ekstrim: dia hanya mau memiliki
barang-barang yang benar-benar ia perlukan dalam hidupnya:
tong untuk tidur, mantel untuk musim dingin, mangkok untuk
makan, dan sebatang tongkat.

Dan suatu ketika seorang raja agung dalam perjalanannya
mampir di rumah, maksud saya di tong yang dihuni Diogenes,
yang waktu itu sedang asyik menikmati hangatnya sinar
matahari pagi. Sang raja tersebut bertanya adakah yang
dapat ia perbuat untuk membantunya, karena menurutnya
Diogenes hidup dalam kekurangan. Dan Diogenes menjawab,

”Ya, Paduka, bergeserlah sedikit, karena Paduka
menghalangi sinar matahari.”

Tentu saya tidak bermaksud menganjurkan siapapun untuk
hidup di dalam tong, tapi benang merahnya adalah: ambillah
yang basic, dan tinggalkan aksesoris… saya rasa hidup akan
menjadi lebih simple dan mudah.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home